Kamis, 11 Juni 2020

MENAKAR KEFITRIAN DIRI (Bagian ke-3 Habis)

Selain dua dimensi sebagaimana telah dibahas pekan yang lalu, yang bisa bisa digunakan untuk menakar kefitrian diri adalah dimensi akal. Akal merupakan dmensi nalar atau rasionalitas yang ada pada diri manusia. Daya akal inilah yang menjadikan manusia bisa memahami sesuatu, menemukan hakikat sesuatu dan mengkonstruk pengetahuan yang di tangkap dari dunia yang melingkupinya.

Sebagaimana kedua daya lainnya, akal juga memiliki dua kutub ekstrim dan satu titik moderasi. Titik moderasi daya akal manusia adalah hikmah. Hikmah ini berada di tengah-tengah antara daya ektrim (ifraath) yang tak terkendali yang dikenal dengan makr (مكر) atau tipu daya. Tipu daya merupakan kerja akal yang tidak dipandu oleh aturan syariat dan lainnya, sebaliknya ia dikooptasi oleh keinginan-keinginan syahwatiyah yang ekstrim pula. Contohnya, korupsi bisa terjadi karena tipu daya para pelakunya. Tipu daya itu adalah kerja akal, mengapa akal melakukan tipu daya? Ya, karena akalnya sudah terkooptasi oleh daya syahwatiyahnya, sehingga akalnya tidak lagi berpikir dengan nalar sehat akibatnya kenistaan dan kehinaan diri yang didapat. Sementara itu, yang berposisi secara diametral dengan makr adalah kutub tafriith yakni ghamarah  atau dungu. Dungu, adalah keadaan dimana daya akal dimiliki oleh seseorang tidak dioptimalkan, jadinya malas berpikir, malas memutar otak untuk menemukan solusi, malas memutar otak agar bisa survive hidup dan sebagainya.

Nah, jika demikian maka kefitrian diri seseorang dilihat dari dimensi daya akalnya adalah jika ia mampu terhindar dari kutub tipu daya dan kedunguan, atau jika seseorang bisa berada pada *hikmah* itu tadi. Imam al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Zakky Mubarak dalam Tahdziib al-Akhlaq Inda al-Ghazali menguraikan indikator-indikator hikmah tersebut.

Pertama, husn al-tadbiir (حسن التدبير) berpikiran baik  atau ber-positive thingking. Orang yang baik jiwanya, tidak mengedepankan syakwa sangka, su’udzon atau buruk sangka. Rasulullah dalam sebuah haditsnya melarang umatnya untuk berburuk sangka, karena buruk sangaka akan mendatangkan madharat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَجَسَّسُوا، وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Jauhilah oleh kalian prasangka karena prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan, dan janganlah kalian saling memaki, mencari-cari kesalahan orang lain, saling membanggakan diri kalian, saling iri hati, saling membenci, saling membelakangi dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara

Kedua, juudat adzdzihn (جودة الذهن) memiliki pemahaman yang baik. Salah satu indikator hikmah adalah seseorang memiliki pemahaman yang baik tentang sesuatu. Bisa berpikir kontekstual, memperhatikan konteks, tidak subyektif tapi obyektif. Dengan keadaan semacam itu, ia akan adil dengan menyikapi sesuatu dan cendrung tidak sektarian. Ketiga, tsiqaab ar-ra’yi (ثقاب الرأي) atau cerdas dan tajam pemikiran. Tajam pemikiran menghasilkan sikap yang kritis tidak hanya take for granted. Dengan begitu ia tidak mudah terombang-ambing oleh arus informasi yang tidak jelas dan sebagainya. Karena itu ia tidak mudah terporovokasi oleh narasi yang menyesatkan. Akalnya mampu mencerahkan sekurang-kurangnya untuk dirinya sendiri ketika hendak bertindak melakukan sesuatu. Keempat, ishaabat  adzdzan (اصابة الظن) tepat prediksi. Daya demikian ini memungkinkan seseorang untuk bertindak dengan hati-hati. Selalu memperhitungkan apa kekurangan dan kelebihan dari tindakan yang akan diambil. Tidak keburu-buru melakukan tindakan tanpa berhitung plus-minusnya. Dalam konteks relasi antara sesama, daya ini akan menjadikan orang sebagai pribadi yang tidak mudah untuk menghakimi orang lain dan sebagainya.

Kelima, at-tafattun li daqaaiq al-a`maal (التفطن لدقائق الاعمال) atau cerdas dan cermat dalam bertindak. Ini tidak lain adalah buah dari tsiqaab adzdazan sebelumnya. Seseorang tidak akan mudah melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Keputusan-keputusan yang diambil senantiasa didasarkan pada pemikiran yang matang akan dampak yang ditimbulkan. Apakah akan merugikan orang lain, membuat kerusakan dan hanya menguntungkan diri sendiri atau justru menjadikan maslahat kepada sesama dan sebagainya. Keenam, khafaayaa afaat an-nufuus (خفايا افات النفوس) atau mampu meminimalisir dampak negatif nafsu. Orang yang berada pada posisi hikmah, daya nalarnya justru bisa memenej dorongan nafsunya, bukan sebaliknya terhegemoni oleh nafsunya. Itulah beberapa indikator daya akal yang berada pada posisi hikmah, yang bisa dijadikan kacabenggala untuk diri kita masing-masing.

Terakhir,  ika akal, amarah dan syahwat manusia berada pada posisi tafriith semuanya, yakni ghamarah, jubn dan jumud, maka yang akan muncul adalah sosok pribadi yang lemah tak berdaya, mudah diinjak-injak harga dirinya, mudah dijajah oleh orang lain, mudah dikibuli, tidak percaya diri, kurang memiliki kemandirian, dan sebagainya. Sedangkan jika akal, amarah dan syahwatnya berada pada posisi ifraath, yakni makar, tahawwur dan syarh maka akan muncul sosok yang arogan, serakah ingin menguasai dan mencaplok harta orang lain, sewenang-wenang, ingin menang sendiri, dan destruktif. Dua kutub ekstrim tersebut kedua-duanya tidak baik dan tidak ideal, karena itu yang harus diusahakan adalah pertengahan daya-daya tersebut. Yakni, akalnya berada pada posisi hikmah, amarah atau emosinya berada pada posisi syaja’ah dan syahwatnya berada pada posisi iffah.

Demikian Hikmah Jum’at kali ini semoga dengannya Allah memberikan manfaat, dan Allah berkenan menjaga kefitrian diri di bulan yang fitri ini hingga akhir hayat, aamiin. _Billaahi fii sabiilil haq._

Tidak ada komentar: