Selasa, 02 Juni 2020

MENAKAR KEFITRIAN DIRI (Bagian ke-1)


Hari raya disebut dengan Id (kembali), karena ia akan kembali lagi secara siklis pada tahun yang akan datang. Karena itu tidak salah jika Idul Fitri, secara sederhana diartikan dengan kembali kepada fitri. Fitri-fitrah bisa bermakna penciptaan, dasar penciptaan manusia itu fitri, bersih belum terkontaminasi oleh apapun dan potensial untuk bertumbuh mengejawantah dalam alam nyata kehidupan. Ringkasnya salah satu makna Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian diri.

Hal itu ada jaminan dari Allah, pokoknya sesiapa saja yang berpuasa bulan ramadhan, malamnya dihiasi dengan qiyamullail dan disambung dengan menghidupkan malam Idul Fitri, ia akan diampuni dosa-dosanya dan bahkan seperti seorang bayi yang baru saja dilahirkan oleh Ibundanya. Dosa di sini tentu maksudnya dosa manusia kepada Rabbnya, bukan kepada sesama.

Nah, sekarang persoalannya apakah pasca puasa Ramadhan dengan amalan-amalan sunnahnya itu sudah benar-benar produktif membawa hasil berupa kefitrian diri? Ini penting untuk dijawab karena hakikatnya hal itu adalah yang dituju dari puasa Ramadhan. Tentu agak sulit mengukur kefitrian diri, meskipun orang bisa mengklaim dirinya sudah meraih kefitrian. Fitri atau belum, tentu perlu ada uji shahihnya. Uji shahih, tentu ada dimensi yang diuji dan paramaternya. Mengukurnya harus benar dan juga dengan alat ukur yang tepat, jika tidak, ibarat mengukur panjang dan lebar namun menggunakan timbangan berat badan, kan tidak cocok.

Hujjatul Islam Imam Ghazali, menjelaskan ada empat daya manusia, daya akal, amarah, syahwat dan daya adil. Idealnya ketiga daya (akal, amarah dan syahwat) harus mengarah dan bearada pada posisi moderat atau pertengahan dari dua kutup ekstrim ifrath dan tafrith, hingga muncul pribadi yang tidak ekstrim, yang melahirkan daya adil. Nah, barangkali ini bisa digunakan untuk mengukur kefitrian diri pasca Ramadhan ini. Baiklah, kefitrian itu kita ukur dengan salah satu dari daya tersebut, yakni amarah. Apakah dimensi amarah ini masih terkontaminasi dengan kekuatan destruktif, atau justru melemah hingga powerless, atau berada di tengah-tengahnya. Moderasi (tengah-tengah) daya amarah adalah syaja’ah* yang berada di antara dua kutup ekstrim. Ekstrim tidak punya amarah sama sekali, disebut pengecut (jubn) dan esktrim berani secara membabi buta tanpa pertimbangan atau (tahawwur).

Syaja’ah adalah moderasi daya amarah yang ideal. Syaja’ah, menurut Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zakiy Mubarak dalam Tahdzib al-Akhlaq Inda al-Ghazali, bisa mengejawantah dalam berbagai bentuk attitude atau sikap. Nah, sikap-sikap inilah yang bisa dijadikan uji shahih apakah dalam dimensi amarahnya, seseorang sudah benar-benar fitri. Berikut ini adalah sikap-sikap pribadi yang syaja’ah; Pertama, al-karam atau mulia. Gampangnya, mulia itu ya tidak hina. Dalam tutur kata, tulisan, tindakan (baik politik, akademik dan lainnya) tidak dihiasi dengan kehinaan. Jika manipulasi data, politik uang, plagiarisme, kok masih dilakukan pasca puasa, maka kefitriannya perlu dipertanyakan.

Kedua, an-Najdah wa asy-Syahaamah berani dan ksatria. Jika ada kemungkaran berani mengingatkan meskipun beresiko, misalnya, ini wujud dari berani dan ksatria. Akhir-akhir ini tampaknya sikap demikian ini, sulit ditemui. Terlebih jika berhadapan dengan kekuasaan yang membawa resiko. Banyak orang yang melihat ketidakjujuran, ketidakbenaran, manipulasi, kebohongan namun tidak berani mengkritik atau mengingatkan. Lebih cenderung mencari selamat, dari pada berhadapan dengan resiko. Dalam dimensi daya amarah, pribadi yang yang benar-benar fitri, semestinya memiliki attitude ini. Jika demikian, maka Sikap Asal Bapak Senang (ABS), oportunis apalagi penjilat sudah barang tentu jauh dari pribadi yang fitri.

Kemudian, ketiga Kasr an-Nafs mampu menahan dan meredakan luapan nafsu. Setiap manusia memiliki nafsu, yang cenderung kepada as-suu’ atau kejelekan. Nah, pribadi yang benar-benar mencapai derajat kefitrian hakiki, ia akan mampu menahan dan meredakan luapan nafsunya. Keinginan untuk selalu menang dalam berbicara dan berargumentasi, selalu ingin benar sendiri atau kelompoknya sendiri yang paling benar dan sebagainya, itu adalah luapan nafsu. Pribadi yang fitri, akan mampu mengendalikan diri dari sikap-sikap semcam itu, pasca Ramadhan.

Keempatal-Ihtimaal bersikap terbuka terhadap adanya berbagai kemungkinan atau possibility. Dengan demikian seseorang, tidak merasa benar sendiri, tidak merasa kelompoknya paling benar, sementara kelompok lain dianggap salah. Yang terjadi saat ini justru, tiap-tiap kelompok sedang merasa kelompoknya paling benar. Ashabiyah, ikatan solidaritas kelompok, dan premordialisme yang terlalu kuat akan menghambat tumbuhnya sikap ini. Dengan al-ihtimaal ini, seseorang akan bisa toleran dengan perbedaan pendapat, namun bukan toleran dengan kemungkaran. Sayangnya, saat ini banyak fenomena menunjukkan bahwa yang sedang terjadi justru sebaliknya, coba kita lihat di masyarakat, di organisasi-organisasi dan sebagainya. Ambil contoh riil misalnya organisasi mahasiswa di kampus, betapa ahsabiyah kadangkala atau bahkan sering menggeser profesionalisme, misalnya dalam rekruitmen pengurusnya. Yang parah, jika hal itu akan berlanjut hingga ketika mereka telah memegang amanah menjalankan roda kehidupan negara ini.

Kelima, al-hilm atau murah hati, lapang dada. Keenam, ats-Tsabaat teguh hati, teguh pendirian, memegang teguh pada prinsip hidup, tidak plin-plan. Semakin mendekati kefitrian, maka seseorang akan semakin kuat dalam memegang prinsip. Wujudnya nyatanya, misalnya tidak mempan untuk disogok. Salah satu penyakit di negeri ini adalah, tidak kuatnya memegang prinsip hidup, sehingga pemegang amanah gampang disogok oleh para pemilik duwit dan modal, yang berakibat pada kerugian negara dan masyarakat.

KetujuhKadzm al-Ghaidz, mampu menahan kemarahan. Orang yang mendapatkan kefitrian akan senantiasa mengedepankan nalar sehat dalam merespons sesuatu baik yang menyenangkan atau tidak. Bukan mengedepankan kemarahan. Jika, maunya hanya marah-marah saja berarti kefitrian diri yang diinginkan masih jauh panggang dari api. Terakhir, at-Tawaddud, cinta dan kasih-sayang. Indahnya dunia ini karena ada cinta dan kasih sayang. Semua akan menjadi indah jika di landasi dengan cinta dan kasih-sayang. Memandang segala persoalan mengedepankan cinta dan kasih-sayang bukan amarah karena kekuasaan. Dalam konteks bernegara, prinsip cinta dan kasih-sayang akan memunculkan pendekatan kesejahteraan, prosperity approach. Sementara itu prinsip kekuasaan akan melahirkan pendekatan keamanan, scurity approach. Dalam kehidupan sosial, prinsip cinta dan kasih-sayang akan menebarkan harmoni kehidupan, dengan demikian pribadi yang fitri hanya akan memancarkan harmoni-harmoni kehidupan, bukan friksi dan perpecahan.

Tidak ada komentar: