Jumat, 29 November 2013

DIALOG IMAJINER 2: KEMURNIAN ISLAM MAKKAH MADINAH ADALAH DO’A RASULULLAH




Secara tidak sengaja pandangan saya tertuju ke sebuah buku (terjemahan) yang aslinya buku tersebut berjudul; mafahim yajibu ‘an tushahaha, kalau diterjemahkan secara apa adanya kira-kira menjadi “pemahaman-pemahaman yang perlu ditashih”. Dalam pengantarnya penulis buku tersebut mengutip beberapa hadits yang intinya kurang lebih bahwa di jazirah Arab tidak akan hidup dua agama yang berdampingan (selain Islam), iman yang murni akan kembali ke Madinah, iman yang benar-benar murni akan kembali ke Hijaz. Itu adalah do’a Rasulullah yang dipanjatkan kepada Allah.

Saya tidak tahu apakah ketika pandangan saya tertuju pada buku tersebut, dan membuka kata pengantar serta membaca hadits tersebut, hanya sebuah kebetulan atau taqdir Allah. Agar tidak usah berpolemik antara takdir atau kebetulan, sebaiknya hal itu dilupakan saja. Hanya saja proses menemukan hadits tersebut seakan menjadi sebuah episode yang bersambung dengan tulisan saya Dialog Imajiner sebelumnya. Betapa tidak? Ketika di tulisan sebelumnya, saya mendasarkan keyakinan dan iman saya bahwa Allah menjaga kemurnian Islam di pusat kosmologinya (Makkah dan Madinah) dari ketercampuran hal-hal yang dapat merusaknya, ternyata berdasar hadits Rasulullah, kemurnian Islam di Jazirah Arab merupakan do’a dari Rasulullah dan tentu dikabulkan oleh Allah. Beliau sangat menghendaki Islam di Jazirah Arab pada umumnya, Makkah, Madinah, Hejaz pada khususnya tetap murni terhindar dari pemahaman-pemahaman lain di luar Islam. Bagaimanapun, karena Makkah dan Madinah adalah pusat Islam, sumber di mana Islam mengalir ke banyak muara. Rasulullah dengan kemampuan profetiknya sudah sangat mengetahui, bahwa Islam akan mengalir ke banyak muara yang jauh jaraknya, dan lama waktunya. Karena itu dalam perjalanan Islam tersebut dipastikan akan ikut mengalir pula berbagai hal yang tidak murni dari Islam di sumbernya (Makkah dan Madinah). Maka sangat bisa dipahami jikalau Rasulullah menginginkan Islam di pusatnya Makkah dan Madinah tetap murni. Sebagaimana yang bisa kita saksikan kemurnian Islam di dua kota suci tersebut. Anasir-anasir yang akan mencampuri kemurnian Islam di sana, dengan sendirinya akan minggir atau memang dipinggirkan -tentunya melalui proses sosiologis.

Inilah beberapa hadits Rasulullah yang menurut saya menguatkan asumsi saya pada Dialog Imajiner sebelumnya.

لا يجتمع دينان في جزيرة العرب
Artinya: Tidak akan berkumpul dua agama di Jazirah Arab.

Hadits tersebut secara jelas menginformasikan bahwa di Jazirah Arab tidak akan hidup dua agama yang berdampingan. Inti dari agama ada pada keimanannya, atau aqidahnya. Karena itu keimanan yang bertentangan dengan Islam -biqudratillah- tentu akan tersingkir dari jazirah Arab. Karena itu kita tidak akan menemukan keyakinan-keyakinan yang tidak bersumber dari Islam, karena Rasulullah tidak menghendaki hal itu terjadi. Dan tentu permohonan yang disampaikan Rasulullah tersebut di “iya”kan oleh Allah. Wajar jika kemudian di sana tidak ada hitungan-hitungan hari baik dan hari tidak baik untuk mendirikan rumah, tidak ada keyakinan bahwa bulan Suro akan membawa sial, sehingga orang tidak berani mengadakan pesta pernikahan dan sebagainya. Karena keyakinan semacam itu, hanya ada di Jawa, dan tidak akan mungkin keyakinan semacam itu hidup bersandingan dengan aqidah Islam yang murni dan mulia di jazirah Arab.
Yang perlu disampaikan pula di sini kata “tidak” di dalam hadits tersebut tentu saja bukan dalam maksud menegasikan atau meniadakan secara totalitas. Artinya masih ada pula orang yang beragama selain Islam, atau berkeyakinan yang tidak murni di Jazirah Arab, akan tetapi bukan sebagai arus utama atau mainstream. Ungkapan tersebut seperti kalau kita ditanya teman seperti ini: “Sudah ada orang di sana”? Kita menjawab: “Wah belum ada orang” Artinya bukan kok tidak ada orang sama sekali, tapi maksudnya sudah ada orang tapi baru sedikit sekali, belum banyak yang datang.

Hadits lainnya adalah sebagai berikut:
أللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد
Artinya: Ya Allah jangalah Engkau jadikan kuburku menjadi berhala yang disembah.
Ini adalah doa Rasulullah kepada Allah, agar kuburnya tidak dijadikan sesembahan oleh umatnya. Doa ini tentu sangat dikabulkan oleh Allah hingga akhir zaman. Kalau kita melihat bagaimana para petugas yang berjaga melarang orang berlama-lama di depan makam Rasulullah, tentu hal tersebut salah satu bentuk dari keterkabulan doa Rasulullah. Di hadapan makam cukup membaca salam dan do’a untuk Rasulullah.Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi, jika kubur atau makam Rasulullah diperlakukan sebagaimana makam atau kubur ulama-ulama, dan para wali di Indonesia, artinya melampaui batas-batas tawassul yang diperbolehkan oleh syariat Islam.

Saya berdialog dalam diri saya sendiri, saya pernah diajak oleh Pak Rahmat Hariyadi mengadakan penelitian. Salah satu data pelengkapnya adalah berkunjung ke makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus. Kelambu penutup makam tersebut secara periodik dicuci dan juga diganti, dan tetesan air cucian apalagi kainnya menjadi rebutan masyarakat karena diyakini memiliki tuah. Fenomena semacam itu juga terjadi di makam-makam tokoh ulama kharismatik Islam di Jawa. Khususnya para wali. Saya sangat yakin para ulama yang makam dan kelambu penutup makamnya dijadikan rebutan juga tidak menginginkan hal itu terjadi. Tetapi kenyataannya hal tersebut terjadi. Memang dahulu para shahabat bertabarruk dengan atsar milik Rasulullah, akan tetapi apakah kemuliaan Rasulullah dan atsar beliau setara dengan manusia lain? Tentu saja tidak. Tidak ada yang lebih muliah dari Rasul dan apa yang melekat pada diri Rasulullah.
Rasulullah tidak menginginkan kultus terhadap dirinya merebak di tengah-tengah umat yang beliau cintai. Beliau tidak ingin makam atau kuburnya dikultuskan sebagaimana terjadi di dunia Islam di luar jazirah Arab. Karena sesuai dengan doa beliau sebelumnya bahwa yang ada di Madinah hanyalah aqidah yang benar dan yang lurus yang tidak tercampur dengan hal-hal lain. Meskipun memang bertawassul dan bertabarruk dengan atsar beliau dibenarkan oleh syariat, namun tidak tertutup kemungkinan bagi umat beliau yang baru sekali melihat makam beliau -seperti halnya diri saya- akan terjebak pada pengkultusan yang melampaui batasan tawassul yang dibenarkan.
Sekalipun memang sulit untuk dipungkiri, bahwa banyak umat beliau yang berkunjung ke makam beliau sulit untuk membendung rasa haru yang mengharuskan air mata keluar sejadi-jadinya dengan diiringi isak tangisan yang tidak sebagaimana biasanya dirasakan. Tapi tetap beliau tidak mengingikan aqidah Islam tercampur dengan kultus yang berlebihan yang merusak kemurnian aqidah Islam.

Hadits berikutnya:
إن الإيمان ليأرز المدينة كما تأرز الحية إلى جحرها
Artinya: Sesungguhnya iman akan mengungsi ke Madinah seperti ular mengungsi ke liangnya.

Pengendikan Rasulullah ini semakin menguatkan bahwa memang Rasulullah tidak membiarkan tanah suci tercampur sedikitpun dengan hal-hal yang merusak kemurnian aqidah Islam. Karena Madinah dan Makkah adalah pusat di mana Islam muncul dan terlahir. Jika dipusatnya Islam sudah tidak murni lagi bagaimana dengan di daerah-daerah lain yang jauh dari pusat Islam.

Hadits Rasul tersebut tentu saja sudah cukup bagi kita yang tidak berada di Madinah untuk  menerima dawuh kanjeng Rasul ini, bahwa Iman yang benar akan kembali di Madinah. Artinya apa? Kalau ingin aqidah kita murni tentu harus secara ikhlas merujuk ke Madinah, apa yang dilakukan di Madinah, sudah itulah yang murni. Jika kita menuduh yang tidak-tidak terhadap aqidah yang ada di Madinah, tentu kita sudah memberanikan diri untuk membantah dawuh dan titah Rasul. Saya yakin setiap orang Islam tidak ingin menjadi orang yang mbalelo terhadap dawuh Rasulnya. Karena itu sekali lagi janganlah kita “iri” dengan titah Rasul ini. Inilah dawuh Rasulullah, kalau ada aqidah kita yang tidak sesuai dengan yang di Madinah, tentu tidak perlu lah kita mengaku lebih benar dari yang di Madinah. Karena yang di sana sudah dijamin kemurniannya oleh pembawa Islam itu sendiri, manusia paling agung sejagat.
إن الإيمان ليأرز إلى الحجاز
Artinya: Sesungguhnya iman akan mengungsi ke Hijaz

Demikian juga dengan hadits yang terakhir ini.

Jumat, 01 November 2013

DIALOG IMAJINER: WAHABIY (SALAFIY) DAN PUSAT KOSMOLOGI ISLAM DUNIA



Tulisan ini berawal dari dialog imajiner penulis, ketika menjalankan ibadah haji atas undangan kerajaan Arab Saudi dan juga berawal dari renungan setelah pulang dari sana. Dialog imajiner tersebut berkisar pada satu hal, mengapa (madzhab) Wahabiy menjadi panutan di pusat kosmologi Islam dunia (khususnya Kerajaan Saudi Arabia). Sementara itu, di belahan dunia Islam lain seperti di Indonesia Wahabiy menjadi sasaran kritikan, bahkan cacian yang tanpa henti terdengar? Dari situlah kemudian penulis ingin mengurai dialog imajiner yang terjadi dalam diri penulis hingga menemukan jawaban dan simpulan.

Asumsi-asumsi dari tulisan ini lebih bersifat teologis ketimbang sosiologis. Karena itu sangat terbuka untuk dikritik dengan perspektif sosiologis atau yang lain. Asumsi pertama bahwa apa yang terjadi di dunia tidak pernah terlepas dari skenario besar (qadar) Allah. Kedua, Allah tidak akan membiarkan manusia menghancurkan pusat kosmologi Islam dunia (Ka’bah). Referensi sejarah menginformasikan hal tersebut, sebagaimana kebinasaan pernah menimpa Abrahah ketika dirinya bermkasud menyerang ka’bah. Pasukan Allah burung “Ababil” telah membinasakannya sebelum ia sampai ke kota Makkah. Peristiwa tersebut diabadikan Allah dalam surat al-Fil. Asumsi ketiga didasarkan pada teori gelombang atau teori mata air. Di titik pusat gelombang, gerakan gelombang kuat dan semakin menjauh akan semakin memudar bercampur dengan gelombang-gelombang lain, dan akhirnya hilang. Atau teori mata air, di sumbernya air yang keluar selalu jernih dan murni, ketika mengalir ke muara maka air tersebut bercampur dengan berbagai unsur lain. Pusat kosmologi Islam adalah Makkah dan Madinah di sanalah gelombang dan kemurnian Islam dapat diperoleh. Jika Ingin melihat Islam murni dalam makna tauhid dan ubudiyah, sekali lagi dalam makna tauhid dan ubudiyah, maka lihatlah pengamalan Islam di Makkah dan Madinah. Sebagaimana jika kita ingin mendapatkan air yang masih murni, maka datanglah ke sumber mata airnya, jangan di aliran yang jauh dari sumbernya. Sebagaimana pula, jika orang ingin mengerti tentang budaya Jawa yang murni maka datanglah ke pusat budaya Jawa, di Keraton Jogjakarta atau Surakarta, bukan di pesisir pulau Jawa. Meskipun memang, budaya Jawa di pesisir pulau Jawa termasuk budaya Jawa juga, tapi tentu saja tidak semurni di pusatnya.

Dari asumsi-asumsi tersebut, penulis sampai pada kesimpulan antara lain, keberadaan madzhab Wahabiy di Arab Saudi tidak terlepas dari skenario besar Allah dalam menjaga kemurnian Islam. Demikian juga dengan kekuasaan yang menjadi pemangkunya, tidak terlepas dari skenario Allah tersebut. Bukankah Allah telah menegaskan dalam sebuah ayat (Surat Ali Imran, ayat 26) bahwa Allah akan memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan akan mencabut kekuasaan dari orang yang Dia kehendaki pula. Akan meninggikan derajat orang yang Dia kehendaki dan akan menghinakan orang yang Dia kehendaki pula. Jika demikian, mengapa di antara Saudara-saudara kita seakan tidak menerima keputusan Allah yang demikian itu, dengan melontarkan kritik bahkan cacian kepada madzhab Wahabiyah hanya gara-gara tidak sesuai dengan Islam yang dipahami di daerah pinggiran Islam?. Tidakkah kita mencoba untuk membalikkan kritik dan pertanyaan tersebut kepada kita? Misalnya mengapa Islam yang kita jalankan di pinggiran ini ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan di pusatnya? Haruskah yang di sumbernya mengacu dan mengikuti kepada yang di pinggiran?
Selanjutnya, lagi-lagi ini didasarkan pada asumsi-asumsi teologis. Bahwa Allah telah membuat skenario besar dengan menghidupkan madzhab Wahabiy di Arab Saudi, untuk menjaga pilar-pilar kemurnian Islam di sana. Menolak kenyataan tersebut (sekali lagi) dalam kaca mata teologis, dapat dimaknai menolak ketentuan Allah. Tidak perlu dikritik atau dicaci, kalau memang Allah menghendaki maka dengan sendirinya Islam yang berada di garis-garis pinggiran akan masuk ke pusaran dan akan menggantikan madzhab Wahabiy. Pertanyaannya kemudian adalah akankah air murni di pusat sumber mata air, akan digantikan oleh air di muara?
Simpulan lainnya, meskipun kita mengamalkan Islam tidak persis seperti di pusat dan sumbernya kita mesti percaya bahwa apa yang kita amalkan juga bersumber dari sana. Kita masih memiliki benang merah dengan di pusatnya. Syukur-syukur bisa semurni yang di sumbernya. Simpulan selanjutnya, rasanya menjadi agak tidak pas jika kita yang di pinggiran, pengamalan Islamnya tidak persis dengan pengamalan di sumber Islam justru kita yang mengkritik sumber atau pusatnya. Seperti tidak pas juga jika budaya pesisir pula Jawa memaksakan kehendak kepada pusat budaya Jawa di Keraton Jogjakarta dan Surakarta, untuk sama seperti di budaya pesisir. Jadi tidak usah khawatir, toh pusat budaya Jawa di Keraton Jogjakarta tetap akan mengakui bahwa di budaya pesisir Jawa juga bagian dari budaya Jawa, tapi perlu diingat bahwa pusatnya itu di Jogjakarta atau Surakarta. Jangan dibalik. Demikian pula dengan keislaman kita, tidak usahlah kita khawatir. Meskipun pengamalan Islam kita tidak persis dengan pengamalan Islam di pusat atau sumbernya, akan tetapi tetap saja Allah akan menerima Islam kita. Yang perlu diingat tidak perlulah kita mengkritik atau mencemooh Islam di pusatnya, tidak perlu lah kita menginginkan Islam di pusatnya harus sama dengan Islam yang di pinggiran.

Inilah epilog dari dialog imajiner penulis. Sekali lagi, dialog dan simpulannya ini lebih didasarkan pada asumsi-asumsi teologis dari pada sosiologis-akademis. Ini lebih mirip dengan pandangan Rasyid Ridha ketimbang Khalid Abou al-Fadhl dan Hamid al-Gar. Karena itu, sangat terbuka untuk dikritik. Kritik tetap akan diterima, tapi tidak akan direply, lagi-lagi didasarkan pada asumsi teologis. Merespons kritik lama-lama akan menjadi perdebatan, dan perdebatan tidak akan membawa berkah kecuali hanya akan mematikan hati pelakunya. Semoga bermanfaat.