Jumat, 05 Juni 2020

MENAKAR KEFITRIAN DIRI (Bagian ke-2)


Pekan lalu, kefitrian diri dilihat dari dimensi daya amarah. Selanjutnya yang bisa digunakan untuk menguji apakah puasa Ramadhan dan amalan-amalan sunnahnya benar-benar telah membawa kepada kefitrian, adalah dimensi syahwat yang ada di dalam diri seseorang. Secara sederhana syahwat dapat dimaknai sebagai dorongan atau daya yang mebuata seseorang condong, tertarik kepada hal-hal keduniaan dan berusaha untuk meraihnya. Jika diarahkan serta dikelola dengan baik dan benar daya syahwat inilah yang justru membuat manusia menjadi dinamis, berkembang maju. Tanpa adanya daya syahwat ini, dunia justru akan menjadi stagnan, mandeg dan tidak berkembang.

Sebagaimana daya amarah, syahwat juga ada dua kutub ekstrim dan ada titik moderasinya. Kutub ekstrim dari syahwat yang berlebihan tak terkendali (ifraath) disebut sebagai syarh (شره), atau serakah. Padanan katanya, rakus dan loba. Ia merupakan keadaan batiniah seseorang yang tidak pernah merasa cukup dan tak merasa puas, selalu ingin mendapatkan yang lebih dari apa yang telah ia miliki, dengan cara-cara yang tidak dibenarkan sekalipun. Sikap yang demikian ini tentu tidak dikehendaki oleh Islam.

Kutub ekstrim lainnya (tafriith), disebut dengan jumud atau stagnan. Yakni keadaan seseorang yang nyaris tidak memiliki keinginan duniawi. Keadaan demikian membuat manusia tidak dinamis, tidak progresif, dan tidak maju. Sikap demikian ini, tentu tidak dikehendaki oleh Islam. Islam mendidik manusia untuk mencari kehidupan akhirat tanpa melupakan dunia, QS. Al-Qashash [28]: 77.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagian kamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Nah, idealita daya syahwat itu adalah moderasinya atau di tengah-tengah antara dua kutub ekstrimnya itu tadi. Tengah-tengah antara kutub serakah dan jumud, yakni Iffah.Inti dari iffah adalah menahan diri dari hal-hal yang haram. Sikap iffah ini membuat seseorang dalam urusan duniawi, selalu menghindarkan diri dari hal-hal yang syubhat apalagi haram. Syubhat saja tidak didekatinya, apalagi yang haram. Itulah iffah. Sikap demikian itu saat ini tampaknya sulit ditemui dan menjadi barang langka, terbukti betapa banyak para pemegang amanah negara justru terjerembab pada jurang kehinaan dan kenistaan karena korupsi. Perilaku korup itu didorong oleh keserakahan, yang jauh dari sikap iffah.

Secara lebih konkrit, sikap iffah itu mengejawantah dalam berbagai sikap turunannya, yang bisa digunakan untuk menguji apakah pada dimensi ini diri seseorang benar-benar fitri atau belum. Menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Zakky Mubarak dalam Tahdziib al-Akhlaaq Inda al-Ghazaliy, yang termasuk dalam sikap iffah itu adalah sebagai berikut. Pertama as-sakha’ (السخاء), atau dermawan, keitrian diri dilihat dari tingkat kedermawanan seseorang. Semakin fitri, maka kedermawanannya akan semakin meningkat. Apalagi di masa-masa sulit akibat pandemi saat ini. Kedua, al-haya’ (الحياء), ada rasa malu dalam diri seseorang, kaitannya dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan baik aturan agama maupun negara. Tingkat kefitrian seseorang bisa dilihat dari rasa malu yang dimiliki seseroang.

Ketiga, ash-shabr (الصبر), tingkat kefitrian seseorang bisa diukur dari kualitas kesabarannya. Bagaimana dirinya bisa mengendalikan diri untuk tidak menuruti keinginan-keinginan syahwatiayhnya, misalnya. Ini menjadi salah satu tolok ukur, apakah kita benar-benar fitri atau belum. Keempat, al-musaamahah (المسامحة), toleran dan lapang dada. Orang yang daya syahwatiyahnya terkendali, dia akan memiliki sikap toleran dan lapang dada kepada orang lain yang berbeda dengan dirinya. Namun bukan berarti toleran pada kemaksiatan dan pelanggaran hukum. Toleran pada kemaksiatan, justru akan membawa kepada permisfisme yang justru merusak adab dan tata kesusilaan di tengah masyarakat.

Kelima, al-qanaa'ah (القناعة), adalah sikap merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah kepada dirinya. Sikap ini akan membawa seseorang menjadi pribadi yang pandai bersyukur pada nikmat yang diterima. Pandai berterima kasih kepada sesama, dan bisa menghargai kontribusi atau bantuan orang lain pada dirinya. Keenam, al-wara’ (الورع), yakni menjauhi dosa dan maksiat, serta menahan diri dari yang syubhat, yang dilandasi oleh ketakwaan, takut kepada Allah. Bukan takut kepada manusia atau motif-motif lainnya. Banyak orang tidak melakukan kemaksiatan, akan tetapi karena takut dilihat orang, atau takut dipenjara. Hla, al-wara’ itu dalam menghindarkan diri dari maksiat dan dosa itu bukan karena takut pada manusia tapi takut kepada Allah. Semakin tinggi wara’ seseorang maka semakin tinggi tingkat kefitriannya. Ketujuh, al-lathaafah (اللطافة), lemah lembut. Pasca puasa Ramadhan idealnya orang menjadi meningkat kelemah-lembutannya, bukan malah bertambah kekerasan, keberingasan dan kebrutalannya. Baik dalam tutur kata, tulisan maupun perilakunya.

Kedelapan, al-musaa’adah (المسعاعدة), mudah membantu orang lain, semakin berkualitas kefitrian seserong maka idealnya semakin ringan dalam membantu orang lain. Kesembilan, adz-dzarf (الظرف), pandai, cerdik, jujur dan smart. Yang terakhir qillat ath-thama’ (قلة الطمع) atau tidak thama’ kepada manusia. Sikap thamak menjadikan orang bersikap oppertunis, Asal Bapak Senang (ABS), tidak kritis karena selalu mengharap pemberian orang lain. Entah pemberian harta, jabatan, posisi, komisi dan sebagainya. Orang dengan sikap thama’ menjadikannya tidak berdaya mengatakan tidak kepada kebatilan. Beberapa sikap di atas, bisa menjadi tolok ukur kefitrian seorang muslim dilihat dari dimensi syahawatiyahnya.

Demikian Hikmah Jum’at kali ini semoga dengannya Allah memberikan manfaat, dan Allah berkenan menjaga kefitrian diri di bulan yang fitri ini hingga akhir hayat, aamiin. Billaahi fii sabiilil haq.

Tidak ada komentar: