Jumat, 26 Juni 2020

MERAWAT KEFITRIAN DIRI (Bagian ke-2)


Merawat kebersihan hati selain harus dari sisi internal, dengan mengetahui gejala-gejalanya juga harus mawas akan adanya entitas luar yang senantiasa mengintai untuk memengaruhi manusia agar hatinya terkontaminasi. Dia adalah setan. Orang beriman meyakini bahwa keberadaan dan pengaruh setan ini nyata adanya, meskipun tidak kasat mata. Karena itu manusia sulit mengidentifikasi dan membedakan, antara kemauan diri atau kemauan diri yang telah terkontaminasi, yang menjerumuskan pada ketidakbaikan. Di sinilah letak pentingnya senantiasa memohon perlidungan kepada Allah dari godaan dan gangguan setan. Bahkan Rasulullah pun, senantiasa memintakan perlindungan kepada Allah untuk kedua cucu tersayangnya Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein, dari godaan setan ini.
عن ابن عباس رضى الله عنهما قال كان رسول الله صلى الله عليه  وسلم يعوذ الحسن والحسين فيقول أعيذكما بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة
Dari Ibn Abbas ra. dia berakata: Adalah Rasulullah memintakan perlindungan untuk Hasan dan Husein seraya Beliau bersabda: Saya mohon perlindungan untuk kalian berdua dengan lantaran kalimat Allah yang sempurna, dari setan, hewan berbisa dan dari pandangan mata yang membawa keburukan.

Setan senantiasa melakukan tipu daya dengan cara apapun, kepada siapapun sesuai dengan apa yang memungkinkannya bisa masuk untuk melakukan tipu daya. Tipu daya (talbiis) itu menjadikan pandangan seseorang terhadap yang batil tampak haq, yang jelek tampak baik. Untuk melakukan itu dia tidak pernah istirahat sedikitpun, tidak pernah tertidur sedikitpun. Hasan al-Basri pernah ditanya oleh seseorang. Apakah setan itu tidur, ia menjawab: Oh tidak pernah. Jika ia tidur, kita bisa istirahat sejenak dari tipu daya mereka.
قال الرجل للحسن البصرى: أينام إبليس؟ لو نام لوجدنا راحة
Ada seseorang bertanya kepada Hasan al-Bashriy: Apakah Iblis itu juga tidur? (dia berkata): Seandainya ia itu tidur, maka kita bisa istirahat (sejenak).

Lantas bagaimana setan menggoda manusia agar terjerumus pada jurang kehinaan?. Ibnu al-Jauziy (bukan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah) dalam Talbiis al-Ibliis pernah menggambarkan bagaimana setan itu melakukan talbis kepada manusia. Hati manusia dianalogikan dengan sebuah benteng. Benteng tersebut ada dinding-dindingnya yang dilengkapi dengan pintu-pintu. Benteng tersebut juga ada penjaganya atau security-nya. Security tidak boleh terlena barang sebentar saja. Karena di luar benteng selain ada malaikat* juga ada setan yang saling berebut pengaruh.

Nah, di dalam benteng ada bilik yang ditempati oleh akal sehat, di sebelahnya ada ruangan yang ditampati oleh hawa nafsu.  Antara akal dan hawa nafsu, sering terjadi tarik menarik kepentingan. Setan senantiasa mondar-mandir di sekeliling benteng, dan selalu berusaha untuk mengakses ke bilik yang ditempati oleh hawa nafsu. Karena itu security enggak boleh lengah sedikitpun, karena kalau sudah masuk, tidak ada yang bisa menghalangi setan dalam melakukan tipu daya. Dia senantiasa memonitor dan mencari di mana titik kelelahan dan kelengahan para penjaga benteng.

Pernah kan Kanjeng Nabi menjelaskan bahwa di dalam diri manusia sesungguhnya sudah di pasang ”polisi” yang akan menjaga seseorang agar tidak melakukan kejelekan. Kejelekan akan membuat resah dan hati tidak tenang, sabda kanjeng Nabi tersebut begini.
البر حُسن الخُلق، والإثم ما حاك في نفسك وكرهت أن يطلع عليه الناس
Kebaikan adalah akhlaq yang baik, sedangkan kejelekan adalah yang membuat jiwamu risau, resah, tidak tenang. Dan kamu tidak senang jika kejelekan (yang kamu lakukan itu) diketahui oleh manusia.

Lanjut ke benteng lagi. Lalu di dalam benteng tadi juga ada lampu penerang, yang tidak lain adalah dzikrullah. Di dalam benteng juga ada kaca pengilon atau cermin. Semakin banyak dzikirnya, maka semakin terang-benderang bilik-bilik yang ada di dalam benteng tadi. Demikian pula kaca pengilonnya juga bisa memantulkan cahaya yang terang pula. Bahkan bisa memancarkannya sampai keluar benteng. Nah, sebaliknya jika dzikirnya kepada Allah kok sedikit maka lampu penerangan di dalam benteng mbleret tidak terang, redup, hanya remang-remang. Ini yang menjadikan jika ada pihak luar masuk tanpa terdeteksi oleh kaca pengilon tadi.

Di sisi luar, setan masih memonitor terus setiap saat. Dia berusaha untuk bisa masuk. Awal dia masuk untuk mentalbiskan yang batil menjadi hak dan yang hak menjadi batil adalah dengan membuat remang-remang. Caranya bagaimana, di gambarkan oleh Ibn al-Jauziy, setan selalu meniupkan dukhan atau asap ke dalam bilik hawa nafsu. Dengan begitu, dia bisa masuk dengan leluasa dan tidak termonitor oleh para penjaga. Ketika sudah bisa masuk, dia bisa menipu para penjaga bahkan bisa menghalangi cermin, dan bahkan bisa mematikan lampu yang menerangi benteng tersebut. Jika sudah demikian keadaannya yakni lampunya sudah mati, cerminnya sudah tidak mengkilap lagi, ruangang menjadi gelap, maka gelaplah seluruh benteng, menjadi benteng yang tak bertuan, tuannya sudah tak berdaya lagi sudah dilemahkan. Sekarang yang menjadi tuannya adalah pendatang baru, ibarat tamu tapi jadi tuan rumah. Tuan rumahnya, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena terjajah oleh tamu yang tidak lain adalah setan tadi.

Sebelum hal itu terjadi, maka merawat kefitrian diri harus senantiasa dilakukan. Caranya dengan menjauhi ajakan, bisikan jelek dengan cara menerangi hati melalui dzikrullah. Pertajam mata hati dengan dzikrullah. Dengan begitu, manusia bisa meminta nasihat kepada hatinya sendiri. Sabda Kanjeng Nabi tentang hal itu, sebagaimana didijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam karya beliau al-Arbain an-Nawawiyah hadis ke dua puluh tujuh sebagai berikut.
استفتِ قلبك، البر ما اطمأنت إليه النفس، واطمأن إليه القلب، والإثم ما حاك في النفس، وتردد في الصدر، وإن أفتاك الناس وأفتَوْك
_Mintalah fatwa (nasihat) kepada hatimu. Kebaikan/kebajikan itu adalah segala hal yang jiwa merasa tenang dengannya, dan hati merasa tenteram-tenang kepadanya. Sedangkan dosa itu adalah apa saja yang ngganjel dalam hatimu, dan membuat hatimu gojag-gajeg (ragu), meskipun kamu meminta fatawa kepada manusia dan manusia memberikan fatwa kepadamu._

Demikian Hikmah Jum’at kali ini semoga dengannya Allah memberikan manfaat, dan Allah berkenan menjaga kefitrian diri hingga kelak menghadap kepada-Nya. Billaahi fii sabiilil haq.

Jumat, 19 Juni 2020

Merawat Kefitrian Diri


Jum’at kali ini berada di penghujung bulan Syawal, bulan dimana idul fitri berada akan segera ditinggalkan. Catatannya adalah, meskipun bulan syawal ini akan segera lewat namun yang tidak boleh lewat dari diri seseorang adalah kefitrian diri. Artinya kefitrian yang telah dicapai harus dirawat tidak dibiarkan hilang bersama berlalunya bulan syawal ini.

Keadaan jiwa seseorang dimana di dalamnya melekat hikmah, syaja’ah dan iffah, menunjukkan hati yang bersih, steril dan tidak terkontaminasi oleh sifat-sifat yang tidak baik. Al-Qur’an membahasakannya dengan qalbun saliim sebagaimana dijelaskan dalam QS. Asy-Syu’ara [26]: 88-89. 
يوم لا ينفع مال ولا بنون * إلا من أتى الله بقلب سليم
Yaitu hari dimana harta dan anak-anak tidak berguna lagi. Kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih.

Hati yang fitri itu, tidak lain ya hati yang bersih atau qalbun saliim itu tadi. Maksudnya hati yang bersih dari penyakit hati. Yang jadi soal adalah, bagaimana mengidentifikasi diri apakah hatinya sedang sakit atau tidak. Ini sulit, karena kecenderungan manusia merasa dirinya baik, dirinya benar di satu sisi dan mencari kambing hitam atau _demonisasi,_ pada sisi lainnya. Yang jelas-jelas busuk pun jika berasal dari dirinya sendiri, manusia merasa enjoy-enjoy saja. Buktinya (maaf ini ya) ketika membau kentutnya sendiri orang biasa-biasa saja bahkan boleh jadi menikmatinya, karena perutnya lega. Tapi sebaliknya, pada saat yang sama, kok membau kentut orang lain, waaah, langsul mual perutnya. Inilah subyektifitas manusia, sulit melihat kekurangan diri.

Karena itu, sebagaimana keadaan tubuh, untuk mengenali sehat atau sakit, tidak mesti dikenali lewat ciri-ciri sehatnya namun bisa dikenali lewat ciri-ciri orang sakit. Untuk mengenali keadaan seseorang sehat, bisa dilihat melalui ada tidaknya ciri-ciri orang sakit padanya. Jika tidak ada gejala sakit berarti sehat. Nah, demikian pula untuk mengenali hati kita sehat, bisa kita lihat lewat ada atau tidaknya ciri-ciri hati yang sakit pada diri kita. Sehubungan dengan ini, Muhammad bin Abdullah asy-Syamrani dalam sebuah artikel menjelaskan ciri-ciri hati yang sedang sakit, yang bisa digunakan untuk mengukur hati kita sedang greges-greges (gejala awal masuk angin) atau sudah kronis sakitnya. Sebelum kronis, ketika terasa greges-greges segera diobati agar cepat sehat kembali, agar kesehatan hati tetap terawat, sehingga ketika sewaktu-waktu menghadap Sang Pencipta selalu dalam keadaan bersih. Berikut ini di antara ciri-ciri hati yang sedang sakit. Jika ada di dalam diri kita, berarti hati kita sakit jika tidak ada berarti hati kita sehat.

Pertama, فقدان الشهية (faqdaan asy-syahiyah) atau hilang selera. Hati ibarat badan ia membutuhkan asupan nutrisi. Badan yang sakit selera makannya hilang. Demikian pula hati yang sakit ia juga kehilangan selera mengkonsumi nutrisi hati. Nutrisi hati adalah berdzikir kepada Allah, melalui bacaan al-Qur’an atau bacaan-bacaan dzikir ma’tsuuraat. Hati yang sakit, tidak selera untuk berdzikir kepada Allah.

Kedua, الضعف عن القيام بالطاعات (adh-dha’f ’an al-qiyaam fi ath-thaa’aat) lemah dalam menjalankan ketaatan pada Allah. Ini dampak dari kurangnya asupan nutrisi hati, akibatnya meski badannya sehat, berotot, kekar namun lemah dalam menjalankan ketaatan. Ada orang yang sehat, kuat, kekar namun tidak kuat puasa. Ini karena nutrisi hatinya kurang, karena itu lemah dalam menjalankan ketaatan. Ada orang yang rumahnya dekat dengan mushalla dan masjid, namun lemah untuk menjalankan shalat jama’ah. Karena sebenarnya shalat jama’ah ke masjid dan mushalla bukan urusan fisik sehat atau tidak, bukan urusan jaraknya dekat atau jauh, namun urusan hatinya bernutrisi atau tidak. Jika hatinya cukup nutrisi, maka ia semakin kuat dalam menjalankan ketaatan-ketaatan.

Ketiga, الاشمئزاز عند ذكر الله والفرح والاستبشار والسرور عند اللهو واللغو والباطل (al-isymi’zaaz ‘inda dzikrillah wa al-farh wa al-istibsyaar wa as-suruur ‘inda al-lahw wa al-laghw wa al-baathil). Maksudnya kesal jika disebut-sebut asma Allah, sebaliknya bahagia, senang dan suka cita jika berada dalam hal-hal tidak bermakna dan kebatilan. Keadaan hati yang demikian ini menunjukkan hati yang sakit dan sudah kronis sekali, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam QS. Az-Zumar [39]: 45
وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
Apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat. Dan apabila nama-nama (sembahan) selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka riang gembira.

Keempat, الأنس بأصحاب الذنوب والمعاصي (al-unsu bi ashaab adz-dzunuub wa al-ma’aashiy) maksudnya senang, ramah dan jinak kepada pendosa. Hati yang sakit cenderung permisif kepada dosa dan para pelakunya, bahkan bisa jadi membelanya. Betapa saat ini, banyak orang yang bukan saja ramah, jinak kepada pelaku LGBT. Lebih dari itu, malah banyak yang membelanya atas nama Hak Asasi Manusia, katanya. Kelima, lebih senang masuk ke arena permainan di satu sisi, sementara berat untuk masuk ke masjid dan majelis-majelis dzikir dan ta’lim, pada sisi lainnya. Keenam, عدم الشعور بجراحات الذنوب والمعاصي (adam asy-syu’uur bi jaraahaat adz-dzunuub wa al-ma’aashiy) maksudnya tidak lagi merasakan dosa ketika melakukan kemaksiatan. Jika keadaannya sebagaimana yang terakhir ini, tentu sakit hatinya sudah kronis sekali, dan susah untuk diobatia. Betapa banyak manusia menikmati dan merasa enjoy dengan meninggalkan kewajiban syariat misalnya. Betapa banyak manusia yang enjoy-enjoy saja melakukan dosa, meminum minuman keras, narkoba, perzinahan dan sebagainya. Bahkan banyak di antara pelakunya, sudah di dalam penjara pun, masih melakukan hal yang sama. Ini menunjukkan betapa kronisnya sakit yang diderita oleh hati mereka. Ibarat badan yang sakit, yang demikian itu sudah harus dikarantina dan dirawat dengan intensif dimaksukkan ke instalasi ICU.

Demikian Hikmah Jum’at kali ini semoga dengannya Allah memberikan manfaat, dan Allah berkenan menjaga kefitrian diri hingga kelak menghadap kepada-Nya. Billaahi fii sabiilil haq.

Kamis, 11 Juni 2020

MENAKAR KEFITRIAN DIRI (Bagian ke-3 Habis)

Selain dua dimensi sebagaimana telah dibahas pekan yang lalu, yang bisa bisa digunakan untuk menakar kefitrian diri adalah dimensi akal. Akal merupakan dmensi nalar atau rasionalitas yang ada pada diri manusia. Daya akal inilah yang menjadikan manusia bisa memahami sesuatu, menemukan hakikat sesuatu dan mengkonstruk pengetahuan yang di tangkap dari dunia yang melingkupinya.

Sebagaimana kedua daya lainnya, akal juga memiliki dua kutub ekstrim dan satu titik moderasi. Titik moderasi daya akal manusia adalah hikmah. Hikmah ini berada di tengah-tengah antara daya ektrim (ifraath) yang tak terkendali yang dikenal dengan makr (مكر) atau tipu daya. Tipu daya merupakan kerja akal yang tidak dipandu oleh aturan syariat dan lainnya, sebaliknya ia dikooptasi oleh keinginan-keinginan syahwatiyah yang ekstrim pula. Contohnya, korupsi bisa terjadi karena tipu daya para pelakunya. Tipu daya itu adalah kerja akal, mengapa akal melakukan tipu daya? Ya, karena akalnya sudah terkooptasi oleh daya syahwatiyahnya, sehingga akalnya tidak lagi berpikir dengan nalar sehat akibatnya kenistaan dan kehinaan diri yang didapat. Sementara itu, yang berposisi secara diametral dengan makr adalah kutub tafriith yakni ghamarah  atau dungu. Dungu, adalah keadaan dimana daya akal dimiliki oleh seseorang tidak dioptimalkan, jadinya malas berpikir, malas memutar otak untuk menemukan solusi, malas memutar otak agar bisa survive hidup dan sebagainya.

Nah, jika demikian maka kefitrian diri seseorang dilihat dari dimensi daya akalnya adalah jika ia mampu terhindar dari kutub tipu daya dan kedunguan, atau jika seseorang bisa berada pada *hikmah* itu tadi. Imam al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Zakky Mubarak dalam Tahdziib al-Akhlaq Inda al-Ghazali menguraikan indikator-indikator hikmah tersebut.

Pertama, husn al-tadbiir (حسن التدبير) berpikiran baik  atau ber-positive thingking. Orang yang baik jiwanya, tidak mengedepankan syakwa sangka, su’udzon atau buruk sangka. Rasulullah dalam sebuah haditsnya melarang umatnya untuk berburuk sangka, karena buruk sangaka akan mendatangkan madharat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَجَسَّسُوا، وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Jauhilah oleh kalian prasangka karena prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan, dan janganlah kalian saling memaki, mencari-cari kesalahan orang lain, saling membanggakan diri kalian, saling iri hati, saling membenci, saling membelakangi dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara

Kedua, juudat adzdzihn (جودة الذهن) memiliki pemahaman yang baik. Salah satu indikator hikmah adalah seseorang memiliki pemahaman yang baik tentang sesuatu. Bisa berpikir kontekstual, memperhatikan konteks, tidak subyektif tapi obyektif. Dengan keadaan semacam itu, ia akan adil dengan menyikapi sesuatu dan cendrung tidak sektarian. Ketiga, tsiqaab ar-ra’yi (ثقاب الرأي) atau cerdas dan tajam pemikiran. Tajam pemikiran menghasilkan sikap yang kritis tidak hanya take for granted. Dengan begitu ia tidak mudah terombang-ambing oleh arus informasi yang tidak jelas dan sebagainya. Karena itu ia tidak mudah terporovokasi oleh narasi yang menyesatkan. Akalnya mampu mencerahkan sekurang-kurangnya untuk dirinya sendiri ketika hendak bertindak melakukan sesuatu. Keempat, ishaabat  adzdzan (اصابة الظن) tepat prediksi. Daya demikian ini memungkinkan seseorang untuk bertindak dengan hati-hati. Selalu memperhitungkan apa kekurangan dan kelebihan dari tindakan yang akan diambil. Tidak keburu-buru melakukan tindakan tanpa berhitung plus-minusnya. Dalam konteks relasi antara sesama, daya ini akan menjadikan orang sebagai pribadi yang tidak mudah untuk menghakimi orang lain dan sebagainya.

Kelima, at-tafattun li daqaaiq al-a`maal (التفطن لدقائق الاعمال) atau cerdas dan cermat dalam bertindak. Ini tidak lain adalah buah dari tsiqaab adzdazan sebelumnya. Seseorang tidak akan mudah melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Keputusan-keputusan yang diambil senantiasa didasarkan pada pemikiran yang matang akan dampak yang ditimbulkan. Apakah akan merugikan orang lain, membuat kerusakan dan hanya menguntungkan diri sendiri atau justru menjadikan maslahat kepada sesama dan sebagainya. Keenam, khafaayaa afaat an-nufuus (خفايا افات النفوس) atau mampu meminimalisir dampak negatif nafsu. Orang yang berada pada posisi hikmah, daya nalarnya justru bisa memenej dorongan nafsunya, bukan sebaliknya terhegemoni oleh nafsunya. Itulah beberapa indikator daya akal yang berada pada posisi hikmah, yang bisa dijadikan kacabenggala untuk diri kita masing-masing.

Terakhir,  ika akal, amarah dan syahwat manusia berada pada posisi tafriith semuanya, yakni ghamarah, jubn dan jumud, maka yang akan muncul adalah sosok pribadi yang lemah tak berdaya, mudah diinjak-injak harga dirinya, mudah dijajah oleh orang lain, mudah dikibuli, tidak percaya diri, kurang memiliki kemandirian, dan sebagainya. Sedangkan jika akal, amarah dan syahwatnya berada pada posisi ifraath, yakni makar, tahawwur dan syarh maka akan muncul sosok yang arogan, serakah ingin menguasai dan mencaplok harta orang lain, sewenang-wenang, ingin menang sendiri, dan destruktif. Dua kutub ekstrim tersebut kedua-duanya tidak baik dan tidak ideal, karena itu yang harus diusahakan adalah pertengahan daya-daya tersebut. Yakni, akalnya berada pada posisi hikmah, amarah atau emosinya berada pada posisi syaja’ah dan syahwatnya berada pada posisi iffah.

Demikian Hikmah Jum’at kali ini semoga dengannya Allah memberikan manfaat, dan Allah berkenan menjaga kefitrian diri di bulan yang fitri ini hingga akhir hayat, aamiin. _Billaahi fii sabiilil haq._

Jumat, 05 Juni 2020

MENAKAR KEFITRIAN DIRI (Bagian ke-2)


Pekan lalu, kefitrian diri dilihat dari dimensi daya amarah. Selanjutnya yang bisa digunakan untuk menguji apakah puasa Ramadhan dan amalan-amalan sunnahnya benar-benar telah membawa kepada kefitrian, adalah dimensi syahwat yang ada di dalam diri seseorang. Secara sederhana syahwat dapat dimaknai sebagai dorongan atau daya yang mebuata seseorang condong, tertarik kepada hal-hal keduniaan dan berusaha untuk meraihnya. Jika diarahkan serta dikelola dengan baik dan benar daya syahwat inilah yang justru membuat manusia menjadi dinamis, berkembang maju. Tanpa adanya daya syahwat ini, dunia justru akan menjadi stagnan, mandeg dan tidak berkembang.

Sebagaimana daya amarah, syahwat juga ada dua kutub ekstrim dan ada titik moderasinya. Kutub ekstrim dari syahwat yang berlebihan tak terkendali (ifraath) disebut sebagai syarh (شره), atau serakah. Padanan katanya, rakus dan loba. Ia merupakan keadaan batiniah seseorang yang tidak pernah merasa cukup dan tak merasa puas, selalu ingin mendapatkan yang lebih dari apa yang telah ia miliki, dengan cara-cara yang tidak dibenarkan sekalipun. Sikap yang demikian ini tentu tidak dikehendaki oleh Islam.

Kutub ekstrim lainnya (tafriith), disebut dengan jumud atau stagnan. Yakni keadaan seseorang yang nyaris tidak memiliki keinginan duniawi. Keadaan demikian membuat manusia tidak dinamis, tidak progresif, dan tidak maju. Sikap demikian ini, tentu tidak dikehendaki oleh Islam. Islam mendidik manusia untuk mencari kehidupan akhirat tanpa melupakan dunia, QS. Al-Qashash [28]: 77.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagian kamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Nah, idealita daya syahwat itu adalah moderasinya atau di tengah-tengah antara dua kutub ekstrimnya itu tadi. Tengah-tengah antara kutub serakah dan jumud, yakni Iffah.Inti dari iffah adalah menahan diri dari hal-hal yang haram. Sikap iffah ini membuat seseorang dalam urusan duniawi, selalu menghindarkan diri dari hal-hal yang syubhat apalagi haram. Syubhat saja tidak didekatinya, apalagi yang haram. Itulah iffah. Sikap demikian itu saat ini tampaknya sulit ditemui dan menjadi barang langka, terbukti betapa banyak para pemegang amanah negara justru terjerembab pada jurang kehinaan dan kenistaan karena korupsi. Perilaku korup itu didorong oleh keserakahan, yang jauh dari sikap iffah.

Secara lebih konkrit, sikap iffah itu mengejawantah dalam berbagai sikap turunannya, yang bisa digunakan untuk menguji apakah pada dimensi ini diri seseorang benar-benar fitri atau belum. Menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Zakky Mubarak dalam Tahdziib al-Akhlaaq Inda al-Ghazaliy, yang termasuk dalam sikap iffah itu adalah sebagai berikut. Pertama as-sakha’ (السخاء), atau dermawan, keitrian diri dilihat dari tingkat kedermawanan seseorang. Semakin fitri, maka kedermawanannya akan semakin meningkat. Apalagi di masa-masa sulit akibat pandemi saat ini. Kedua, al-haya’ (الحياء), ada rasa malu dalam diri seseorang, kaitannya dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan baik aturan agama maupun negara. Tingkat kefitrian seseorang bisa dilihat dari rasa malu yang dimiliki seseroang.

Ketiga, ash-shabr (الصبر), tingkat kefitrian seseorang bisa diukur dari kualitas kesabarannya. Bagaimana dirinya bisa mengendalikan diri untuk tidak menuruti keinginan-keinginan syahwatiayhnya, misalnya. Ini menjadi salah satu tolok ukur, apakah kita benar-benar fitri atau belum. Keempat, al-musaamahah (المسامحة), toleran dan lapang dada. Orang yang daya syahwatiyahnya terkendali, dia akan memiliki sikap toleran dan lapang dada kepada orang lain yang berbeda dengan dirinya. Namun bukan berarti toleran pada kemaksiatan dan pelanggaran hukum. Toleran pada kemaksiatan, justru akan membawa kepada permisfisme yang justru merusak adab dan tata kesusilaan di tengah masyarakat.

Kelima, al-qanaa'ah (القناعة), adalah sikap merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah kepada dirinya. Sikap ini akan membawa seseorang menjadi pribadi yang pandai bersyukur pada nikmat yang diterima. Pandai berterima kasih kepada sesama, dan bisa menghargai kontribusi atau bantuan orang lain pada dirinya. Keenam, al-wara’ (الورع), yakni menjauhi dosa dan maksiat, serta menahan diri dari yang syubhat, yang dilandasi oleh ketakwaan, takut kepada Allah. Bukan takut kepada manusia atau motif-motif lainnya. Banyak orang tidak melakukan kemaksiatan, akan tetapi karena takut dilihat orang, atau takut dipenjara. Hla, al-wara’ itu dalam menghindarkan diri dari maksiat dan dosa itu bukan karena takut pada manusia tapi takut kepada Allah. Semakin tinggi wara’ seseorang maka semakin tinggi tingkat kefitriannya. Ketujuh, al-lathaafah (اللطافة), lemah lembut. Pasca puasa Ramadhan idealnya orang menjadi meningkat kelemah-lembutannya, bukan malah bertambah kekerasan, keberingasan dan kebrutalannya. Baik dalam tutur kata, tulisan maupun perilakunya.

Kedelapan, al-musaa’adah (المسعاعدة), mudah membantu orang lain, semakin berkualitas kefitrian seserong maka idealnya semakin ringan dalam membantu orang lain. Kesembilan, adz-dzarf (الظرف), pandai, cerdik, jujur dan smart. Yang terakhir qillat ath-thama’ (قلة الطمع) atau tidak thama’ kepada manusia. Sikap thamak menjadikan orang bersikap oppertunis, Asal Bapak Senang (ABS), tidak kritis karena selalu mengharap pemberian orang lain. Entah pemberian harta, jabatan, posisi, komisi dan sebagainya. Orang dengan sikap thama’ menjadikannya tidak berdaya mengatakan tidak kepada kebatilan. Beberapa sikap di atas, bisa menjadi tolok ukur kefitrian seorang muslim dilihat dari dimensi syahawatiyahnya.

Demikian Hikmah Jum’at kali ini semoga dengannya Allah memberikan manfaat, dan Allah berkenan menjaga kefitrian diri di bulan yang fitri ini hingga akhir hayat, aamiin. Billaahi fii sabiilil haq.

Selasa, 02 Juni 2020

MENAKAR KEFITRIAN DIRI (Bagian ke-1)


Hari raya disebut dengan Id (kembali), karena ia akan kembali lagi secara siklis pada tahun yang akan datang. Karena itu tidak salah jika Idul Fitri, secara sederhana diartikan dengan kembali kepada fitri. Fitri-fitrah bisa bermakna penciptaan, dasar penciptaan manusia itu fitri, bersih belum terkontaminasi oleh apapun dan potensial untuk bertumbuh mengejawantah dalam alam nyata kehidupan. Ringkasnya salah satu makna Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian diri.

Hal itu ada jaminan dari Allah, pokoknya sesiapa saja yang berpuasa bulan ramadhan, malamnya dihiasi dengan qiyamullail dan disambung dengan menghidupkan malam Idul Fitri, ia akan diampuni dosa-dosanya dan bahkan seperti seorang bayi yang baru saja dilahirkan oleh Ibundanya. Dosa di sini tentu maksudnya dosa manusia kepada Rabbnya, bukan kepada sesama.

Nah, sekarang persoalannya apakah pasca puasa Ramadhan dengan amalan-amalan sunnahnya itu sudah benar-benar produktif membawa hasil berupa kefitrian diri? Ini penting untuk dijawab karena hakikatnya hal itu adalah yang dituju dari puasa Ramadhan. Tentu agak sulit mengukur kefitrian diri, meskipun orang bisa mengklaim dirinya sudah meraih kefitrian. Fitri atau belum, tentu perlu ada uji shahihnya. Uji shahih, tentu ada dimensi yang diuji dan paramaternya. Mengukurnya harus benar dan juga dengan alat ukur yang tepat, jika tidak, ibarat mengukur panjang dan lebar namun menggunakan timbangan berat badan, kan tidak cocok.

Hujjatul Islam Imam Ghazali, menjelaskan ada empat daya manusia, daya akal, amarah, syahwat dan daya adil. Idealnya ketiga daya (akal, amarah dan syahwat) harus mengarah dan bearada pada posisi moderat atau pertengahan dari dua kutup ekstrim ifrath dan tafrith, hingga muncul pribadi yang tidak ekstrim, yang melahirkan daya adil. Nah, barangkali ini bisa digunakan untuk mengukur kefitrian diri pasca Ramadhan ini. Baiklah, kefitrian itu kita ukur dengan salah satu dari daya tersebut, yakni amarah. Apakah dimensi amarah ini masih terkontaminasi dengan kekuatan destruktif, atau justru melemah hingga powerless, atau berada di tengah-tengahnya. Moderasi (tengah-tengah) daya amarah adalah syaja’ah* yang berada di antara dua kutup ekstrim. Ekstrim tidak punya amarah sama sekali, disebut pengecut (jubn) dan esktrim berani secara membabi buta tanpa pertimbangan atau (tahawwur).

Syaja’ah adalah moderasi daya amarah yang ideal. Syaja’ah, menurut Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zakiy Mubarak dalam Tahdzib al-Akhlaq Inda al-Ghazali, bisa mengejawantah dalam berbagai bentuk attitude atau sikap. Nah, sikap-sikap inilah yang bisa dijadikan uji shahih apakah dalam dimensi amarahnya, seseorang sudah benar-benar fitri. Berikut ini adalah sikap-sikap pribadi yang syaja’ah; Pertama, al-karam atau mulia. Gampangnya, mulia itu ya tidak hina. Dalam tutur kata, tulisan, tindakan (baik politik, akademik dan lainnya) tidak dihiasi dengan kehinaan. Jika manipulasi data, politik uang, plagiarisme, kok masih dilakukan pasca puasa, maka kefitriannya perlu dipertanyakan.

Kedua, an-Najdah wa asy-Syahaamah berani dan ksatria. Jika ada kemungkaran berani mengingatkan meskipun beresiko, misalnya, ini wujud dari berani dan ksatria. Akhir-akhir ini tampaknya sikap demikian ini, sulit ditemui. Terlebih jika berhadapan dengan kekuasaan yang membawa resiko. Banyak orang yang melihat ketidakjujuran, ketidakbenaran, manipulasi, kebohongan namun tidak berani mengkritik atau mengingatkan. Lebih cenderung mencari selamat, dari pada berhadapan dengan resiko. Dalam dimensi daya amarah, pribadi yang yang benar-benar fitri, semestinya memiliki attitude ini. Jika demikian, maka Sikap Asal Bapak Senang (ABS), oportunis apalagi penjilat sudah barang tentu jauh dari pribadi yang fitri.

Kemudian, ketiga Kasr an-Nafs mampu menahan dan meredakan luapan nafsu. Setiap manusia memiliki nafsu, yang cenderung kepada as-suu’ atau kejelekan. Nah, pribadi yang benar-benar mencapai derajat kefitrian hakiki, ia akan mampu menahan dan meredakan luapan nafsunya. Keinginan untuk selalu menang dalam berbicara dan berargumentasi, selalu ingin benar sendiri atau kelompoknya sendiri yang paling benar dan sebagainya, itu adalah luapan nafsu. Pribadi yang fitri, akan mampu mengendalikan diri dari sikap-sikap semcam itu, pasca Ramadhan.

Keempatal-Ihtimaal bersikap terbuka terhadap adanya berbagai kemungkinan atau possibility. Dengan demikian seseorang, tidak merasa benar sendiri, tidak merasa kelompoknya paling benar, sementara kelompok lain dianggap salah. Yang terjadi saat ini justru, tiap-tiap kelompok sedang merasa kelompoknya paling benar. Ashabiyah, ikatan solidaritas kelompok, dan premordialisme yang terlalu kuat akan menghambat tumbuhnya sikap ini. Dengan al-ihtimaal ini, seseorang akan bisa toleran dengan perbedaan pendapat, namun bukan toleran dengan kemungkaran. Sayangnya, saat ini banyak fenomena menunjukkan bahwa yang sedang terjadi justru sebaliknya, coba kita lihat di masyarakat, di organisasi-organisasi dan sebagainya. Ambil contoh riil misalnya organisasi mahasiswa di kampus, betapa ahsabiyah kadangkala atau bahkan sering menggeser profesionalisme, misalnya dalam rekruitmen pengurusnya. Yang parah, jika hal itu akan berlanjut hingga ketika mereka telah memegang amanah menjalankan roda kehidupan negara ini.

Kelima, al-hilm atau murah hati, lapang dada. Keenam, ats-Tsabaat teguh hati, teguh pendirian, memegang teguh pada prinsip hidup, tidak plin-plan. Semakin mendekati kefitrian, maka seseorang akan semakin kuat dalam memegang prinsip. Wujudnya nyatanya, misalnya tidak mempan untuk disogok. Salah satu penyakit di negeri ini adalah, tidak kuatnya memegang prinsip hidup, sehingga pemegang amanah gampang disogok oleh para pemilik duwit dan modal, yang berakibat pada kerugian negara dan masyarakat.

KetujuhKadzm al-Ghaidz, mampu menahan kemarahan. Orang yang mendapatkan kefitrian akan senantiasa mengedepankan nalar sehat dalam merespons sesuatu baik yang menyenangkan atau tidak. Bukan mengedepankan kemarahan. Jika, maunya hanya marah-marah saja berarti kefitrian diri yang diinginkan masih jauh panggang dari api. Terakhir, at-Tawaddud, cinta dan kasih-sayang. Indahnya dunia ini karena ada cinta dan kasih sayang. Semua akan menjadi indah jika di landasi dengan cinta dan kasih-sayang. Memandang segala persoalan mengedepankan cinta dan kasih-sayang bukan amarah karena kekuasaan. Dalam konteks bernegara, prinsip cinta dan kasih-sayang akan memunculkan pendekatan kesejahteraan, prosperity approach. Sementara itu prinsip kekuasaan akan melahirkan pendekatan keamanan, scurity approach. Dalam kehidupan sosial, prinsip cinta dan kasih-sayang akan menebarkan harmoni kehidupan, dengan demikian pribadi yang fitri hanya akan memancarkan harmoni-harmoni kehidupan, bukan friksi dan perpecahan.