Tulisan ini berawal dari dialog
imajiner penulis, ketika menjalankan ibadah haji atas undangan kerajaan Arab
Saudi dan juga berawal dari renungan setelah pulang dari sana. Dialog imajiner
tersebut berkisar pada satu hal, mengapa (madzhab) Wahabiy menjadi panutan di
pusat kosmologi Islam dunia (khususnya Kerajaan Saudi Arabia). Sementara itu,
di belahan dunia Islam lain seperti di Indonesia Wahabiy menjadi sasaran
kritikan, bahkan cacian yang tanpa henti terdengar? Dari situlah kemudian
penulis ingin mengurai dialog imajiner yang terjadi dalam diri penulis hingga
menemukan jawaban dan simpulan.
Asumsi-asumsi dari tulisan ini lebih
bersifat teologis ketimbang sosiologis. Karena itu sangat terbuka untuk
dikritik dengan perspektif sosiologis atau yang lain. Asumsi pertama
bahwa apa yang terjadi di dunia tidak pernah terlepas dari skenario besar
(qadar) Allah. Kedua, Allah tidak akan membiarkan manusia menghancurkan
pusat kosmologi Islam dunia (Ka’bah). Referensi sejarah menginformasikan hal
tersebut, sebagaimana kebinasaan pernah menimpa Abrahah ketika dirinya
bermkasud menyerang ka’bah. Pasukan Allah burung “Ababil” telah
membinasakannya sebelum ia sampai ke kota Makkah. Peristiwa tersebut diabadikan
Allah dalam surat al-Fil. Asumsi ketiga didasarkan pada teori gelombang
atau teori mata air. Di titik pusat gelombang, gerakan gelombang kuat dan
semakin menjauh akan semakin memudar bercampur dengan gelombang-gelombang lain,
dan akhirnya hilang. Atau teori mata air, di sumbernya air yang keluar selalu
jernih dan murni, ketika mengalir ke muara maka air tersebut bercampur dengan
berbagai unsur lain. Pusat kosmologi Islam adalah Makkah dan Madinah di sanalah
gelombang dan kemurnian Islam dapat diperoleh. Jika Ingin melihat Islam murni
dalam makna tauhid dan ubudiyah, sekali lagi dalam makna tauhid dan ubudiyah, maka lihatlah pengamalan Islam di Makkah dan
Madinah. Sebagaimana jika kita ingin mendapatkan air yang masih murni, maka
datanglah ke sumber mata airnya, jangan di aliran yang jauh dari sumbernya.
Sebagaimana pula, jika orang ingin mengerti tentang budaya Jawa yang murni maka
datanglah ke pusat budaya Jawa, di Keraton Jogjakarta atau Surakarta, bukan di
pesisir pulau Jawa. Meskipun memang, budaya Jawa di pesisir pulau Jawa termasuk
budaya Jawa juga, tapi tentu saja tidak semurni di pusatnya.
Dari asumsi-asumsi tersebut, penulis
sampai pada kesimpulan antara lain, keberadaan madzhab Wahabiy di Arab Saudi
tidak terlepas dari skenario besar Allah dalam menjaga kemurnian Islam.
Demikian juga dengan kekuasaan yang menjadi pemangkunya, tidak terlepas dari
skenario Allah tersebut. Bukankah Allah telah menegaskan dalam sebuah ayat
(Surat Ali Imran, ayat 26) bahwa Allah akan memberikan kekuasaan kepada siapa
saja yang Ia kehendaki dan akan mencabut kekuasaan dari orang yang Dia
kehendaki pula. Akan meninggikan derajat orang yang Dia kehendaki dan akan
menghinakan orang yang Dia kehendaki pula. Jika demikian, mengapa di antara
Saudara-saudara kita seakan tidak menerima keputusan Allah yang demikian itu,
dengan melontarkan kritik bahkan cacian kepada madzhab Wahabiyah hanya
gara-gara tidak sesuai dengan Islam yang dipahami di daerah pinggiran Islam?.
Tidakkah kita mencoba untuk membalikkan kritik dan pertanyaan tersebut kepada
kita? Misalnya mengapa Islam yang kita jalankan di pinggiran ini ada beberapa
hal yang tidak sesuai dengan di pusatnya? Haruskah yang di sumbernya mengacu
dan mengikuti kepada yang di pinggiran?
Selanjutnya, lagi-lagi ini
didasarkan pada asumsi-asumsi teologis. Bahwa Allah telah membuat skenario
besar dengan menghidupkan madzhab Wahabiy di Arab Saudi, untuk menjaga
pilar-pilar kemurnian Islam di sana. Menolak kenyataan tersebut (sekali lagi)
dalam kaca mata teologis, dapat dimaknai menolak ketentuan Allah. Tidak perlu
dikritik atau dicaci, kalau memang Allah menghendaki maka dengan sendirinya
Islam yang berada di garis-garis pinggiran akan masuk ke pusaran dan akan
menggantikan madzhab Wahabiy. Pertanyaannya kemudian adalah akankah air murni
di pusat sumber mata air, akan digantikan oleh air di muara?
Simpulan lainnya, meskipun kita
mengamalkan Islam tidak persis seperti di pusat dan sumbernya kita mesti
percaya bahwa apa yang kita amalkan juga bersumber dari sana. Kita masih
memiliki benang merah dengan di pusatnya. Syukur-syukur bisa semurni yang di
sumbernya. Simpulan selanjutnya, rasanya menjadi agak tidak pas jika kita yang
di pinggiran, pengamalan Islamnya tidak persis dengan pengamalan di sumber
Islam justru kita yang mengkritik sumber atau pusatnya. Seperti tidak pas juga
jika budaya pesisir pula Jawa memaksakan kehendak kepada pusat budaya Jawa di
Keraton Jogjakarta dan Surakarta, untuk sama seperti di budaya pesisir. Jadi
tidak usah khawatir, toh pusat budaya Jawa di Keraton Jogjakarta tetap akan
mengakui bahwa di budaya pesisir Jawa juga bagian dari budaya Jawa, tapi perlu
diingat bahwa pusatnya itu di Jogjakarta atau Surakarta. Jangan dibalik.
Demikian pula dengan keislaman kita, tidak usahlah kita khawatir. Meskipun
pengamalan Islam kita tidak persis dengan pengamalan Islam di pusat atau
sumbernya, akan tetapi tetap saja Allah akan menerima Islam kita. Yang perlu
diingat tidak perlulah kita mengkritik atau mencemooh Islam di pusatnya, tidak
perlu lah kita menginginkan Islam di pusatnya harus sama dengan Islam yang di
pinggiran.
Inilah epilog dari dialog imajiner
penulis. Sekali lagi, dialog dan simpulannya ini lebih didasarkan pada
asumsi-asumsi teologis dari pada sosiologis-akademis. Ini lebih mirip dengan pandangan Rasyid Ridha ketimbang Khalid Abou al-Fadhl dan Hamid al-Gar. Karena itu, sangat
terbuka untuk dikritik. Kritik tetap akan diterima, tapi tidak akan direply,
lagi-lagi didasarkan pada asumsi teologis. Merespons kritik lama-lama akan
menjadi perdebatan, dan perdebatan tidak akan membawa berkah kecuali hanya akan
mematikan hati pelakunya. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar