Sebagaimana kedua daya lainnya, akal juga
memiliki dua kutub ekstrim dan satu titik moderasi. Titik moderasi daya akal
manusia adalah hikmah. Hikmah ini berada di tengah-tengah antara daya ektrim (ifraath) yang tak terkendali yang dikenal dengan makr (مكر) atau tipu daya.
Tipu daya merupakan kerja akal yang tidak dipandu oleh aturan syariat dan
lainnya, sebaliknya ia dikooptasi oleh keinginan-keinginan syahwatiyah yang
ekstrim pula. Contohnya, korupsi bisa terjadi karena tipu daya para pelakunya.
Tipu daya itu adalah kerja akal, mengapa akal melakukan tipu daya? Ya, karena
akalnya sudah terkooptasi oleh daya syahwatiyahnya, sehingga akalnya tidak lagi
berpikir dengan nalar sehat akibatnya kenistaan dan kehinaan diri yang
didapat. Sementara itu, yang berposisi secara diametral dengan makr adalah
kutub tafriith yakni ghamarah atau
dungu. Dungu, adalah keadaan dimana daya akal dimiliki oleh seseorang tidak
dioptimalkan, jadinya malas berpikir, malas memutar otak untuk menemukan
solusi, malas memutar otak agar bisa survive hidup dan sebagainya.
Nah, jika demikian maka kefitrian diri
seseorang dilihat dari dimensi daya akalnya adalah jika ia mampu terhindar dari
kutub tipu daya dan kedunguan, atau jika seseorang bisa berada pada *hikmah*
itu tadi. Imam al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Zakky Mubarak dalam
Tahdziib al-Akhlaq Inda al-Ghazali menguraikan indikator-indikator hikmah
tersebut.
Pertama, husn al-tadbiir (حسن التدبير) berpikiran baik atau ber-positive thingking. Orang yang baik
jiwanya, tidak mengedepankan syakwa sangka, su’udzon atau buruk sangka. Rasulullah dalam
sebuah haditsnya melarang umatnya untuk berburuk sangka, karena buruk sangaka
akan mendatangkan madharat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ،
فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَجَسَّسُوا،
وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا،
وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Jauhilah oleh kalian prasangka karena prasangka itu adalah sedusta-dustanya pembicaraan, dan janganlah kalian saling memaki, mencari-cari kesalahan orang lain, saling membanggakan diri kalian, saling iri hati, saling membenci, saling membelakangi dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara
Kedua, juudat adzdzihn (جودة الذهن) memiliki pemahaman
yang baik. Salah satu indikator hikmah adalah seseorang memiliki pemahaman yang
baik tentang sesuatu. Bisa berpikir kontekstual, memperhatikan konteks, tidak
subyektif tapi obyektif. Dengan keadaan semacam itu, ia akan adil dengan
menyikapi sesuatu dan cendrung tidak sektarian. Ketiga, tsiqaab ar-ra’yi (ثقاب الرأي) atau cerdas dan tajam pemikiran. Tajam pemikiran
menghasilkan sikap yang kritis tidak hanya take for granted. Dengan begitu ia
tidak mudah terombang-ambing oleh arus informasi yang tidak jelas dan
sebagainya. Karena itu ia tidak mudah terporovokasi oleh narasi yang
menyesatkan. Akalnya mampu mencerahkan sekurang-kurangnya untuk dirinya sendiri
ketika hendak bertindak melakukan sesuatu. Keempat, ishaabat adzdzan (اصابة الظن) tepat prediksi.
Daya demikian ini memungkinkan seseorang untuk bertindak dengan hati-hati.
Selalu memperhitungkan apa kekurangan dan kelebihan dari tindakan yang akan
diambil. Tidak keburu-buru melakukan tindakan tanpa berhitung plus-minusnya.
Dalam konteks relasi antara sesama, daya ini akan menjadikan orang sebagai
pribadi yang tidak mudah untuk menghakimi orang lain dan sebagainya.
Kelima, at-tafattun li
daqaaiq al-a`maal (التفطن لدقائق الاعمال) atau cerdas dan cermat dalam bertindak. Ini tidak
lain adalah buah dari tsiqaab adzdazan sebelumnya. Seseorang tidak akan mudah
melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Keputusan-keputusan yang
diambil senantiasa didasarkan pada pemikiran yang matang akan dampak yang
ditimbulkan. Apakah akan merugikan orang lain, membuat kerusakan dan hanya
menguntungkan diri sendiri atau justru menjadikan maslahat kepada sesama dan
sebagainya. Keenam, khafaayaa afaat an-nufuus (خفايا افات النفوس) atau mampu meminimalisir
dampak negatif nafsu. Orang yang berada pada posisi hikmah, daya nalarnya
justru bisa memenej dorongan nafsunya, bukan sebaliknya terhegemoni oleh
nafsunya. Itulah beberapa indikator daya akal yang berada pada posisi hikmah,
yang bisa dijadikan kacabenggala untuk diri kita masing-masing.
Terakhir, ika akal, amarah dan syahwat manusia berada pada
posisi tafriith semuanya, yakni ghamarah, jubn dan jumud, maka yang akan
muncul adalah sosok pribadi yang lemah tak berdaya, mudah diinjak-injak harga
dirinya, mudah dijajah oleh orang lain, mudah dikibuli, tidak percaya diri, kurang
memiliki kemandirian, dan sebagainya. Sedangkan jika akal, amarah dan syahwatnya
berada pada posisi ifraath, yakni makar, tahawwur dan syarh maka akan
muncul sosok yang arogan, serakah ingin menguasai dan mencaplok harta orang
lain, sewenang-wenang, ingin menang sendiri, dan destruktif. Dua kutub ekstrim
tersebut kedua-duanya tidak baik dan tidak ideal, karena itu yang harus
diusahakan adalah pertengahan daya-daya tersebut. Yakni, akalnya berada pada
posisi hikmah, amarah atau emosinya berada pada posisi syaja’ah dan
syahwatnya berada pada posisi iffah.
Demikian Hikmah Jum’at
kali ini semoga dengannya Allah memberikan manfaat, dan Allah berkenan menjaga
kefitrian diri di bulan yang fitri ini hingga akhir hayat, aamiin. _Billaahi fii
sabiilil haq._
Tidak ada komentar:
Posting Komentar