Hari raya
disebut dengan Id (kembali), karena ia akan kembali lagi secara siklis pada
tahun yang akan datang. Karena itu tidak salah jika Idul Fitri, secara
sederhana diartikan dengan kembali kepada fitri. Fitri-fitrah bisa bermakna
penciptaan, dasar penciptaan manusia itu fitri, bersih belum terkontaminasi
oleh apapun dan potensial untuk bertumbuh mengejawantah dalam alam nyata
kehidupan. Ringkasnya salah satu makna Idul Fitri adalah kembali kepada
kesucian diri.
Hal itu ada jaminan
dari Allah, pokoknya sesiapa saja yang berpuasa bulan ramadhan, malamnya
dihiasi dengan qiyamullail dan disambung dengan menghidupkan malam Idul Fitri,
ia akan diampuni dosa-dosanya dan bahkan seperti seorang bayi yang baru saja
dilahirkan oleh Ibundanya. Dosa
di sini tentu maksudnya dosa manusia kepada Rabbnya, bukan
kepada sesama.
Nah, sekarang
persoalannya apakah pasca puasa Ramadhan dengan amalan-amalan sunnahnya itu
sudah benar-benar produktif membawa hasil berupa kefitrian diri? Ini penting
untuk dijawab karena hakikatnya hal itu adalah yang dituju dari puasa Ramadhan.
Tentu agak sulit mengukur kefitrian diri, meskipun orang bisa mengklaim dirinya
sudah meraih kefitrian. Fitri atau belum, tentu perlu ada uji shahihnya. Uji
shahih, tentu ada dimensi yang diuji dan paramaternya. Mengukurnya harus benar
dan juga dengan alat ukur yang tepat, jika tidak, ibarat mengukur panjang dan
lebar namun menggunakan
timbangan berat badan, kan tidak cocok.
Hujjatul Islam
Imam Ghazali, menjelaskan ada empat daya manusia, daya akal, amarah, syahwat
dan daya adil. Idealnya ketiga daya (akal, amarah dan syahwat) harus mengarah dan
bearada pada posisi moderat atau pertengahan dari dua kutup ekstrim ifrath dan
tafrith, hingga muncul pribadi yang tidak ekstrim, yang melahirkan daya adil. Nah,
barangkali ini bisa digunakan untuk mengukur kefitrian diri pasca Ramadhan ini.
Baiklah, kefitrian itu kita ukur dengan salah satu dari daya tersebut, yakni amarah.
Apakah dimensi amarah ini masih terkontaminasi dengan kekuatan destruktif, atau
justru melemah hingga powerless, atau berada di tengah-tengahnya. Moderasi (tengah-tengah)
daya amarah adalah syaja’ah* yang berada di antara dua kutup ekstrim. Ekstrim tidak
punya amarah sama sekali, disebut pengecut (jubn) dan esktrim berani secara
membabi buta tanpa pertimbangan atau (tahawwur).
Syaja’ah adalah moderasi daya amarah yang ideal.
Syaja’ah, menurut Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zakiy Mubarak dalam Tahdzib
al-Akhlaq Inda al-Ghazali, bisa mengejawantah dalam berbagai bentuk attitude
atau sikap. Nah, sikap-sikap inilah yang bisa dijadikan uji shahih apakah dalam
dimensi amarahnya, seseorang sudah benar-benar fitri. Berikut ini adalah
sikap-sikap pribadi yang syaja’ah; Pertama, al-karam atau mulia. Gampangnya,
mulia itu ya tidak hina. Dalam tutur kata, tulisan, tindakan (baik politik,
akademik dan lainnya) tidak dihiasi dengan kehinaan. Jika manipulasi data,
politik uang, plagiarisme, kok masih dilakukan pasca puasa, maka kefitriannya
perlu dipertanyakan.
Kedua, an-Najdah wa asy-Syahaamah berani dan
ksatria. Jika ada kemungkaran berani mengingatkan meskipun beresiko, misalnya,
ini wujud dari berani dan ksatria. Akhir-akhir ini tampaknya sikap demikian
ini, sulit ditemui. Terlebih jika berhadapan dengan kekuasaan yang membawa
resiko. Banyak orang yang melihat ketidakjujuran, ketidakbenaran, manipulasi,
kebohongan namun tidak berani mengkritik atau mengingatkan. Lebih cenderung
mencari selamat, dari pada berhadapan dengan resiko. Dalam dimensi daya amarah,
pribadi yang yang benar-benar fitri, semestinya memiliki attitude ini. Jika
demikian, maka Sikap Asal Bapak Senang (ABS), oportunis apalagi penjilat sudah barang
tentu jauh dari pribadi yang fitri.
Kemudian, ketiga Kasr an-Nafs mampu menahan
dan meredakan luapan nafsu. Setiap manusia memiliki nafsu, yang cenderung
kepada as-suu’ atau kejelekan. Nah, pribadi yang benar-benar mencapai derajat
kefitrian hakiki, ia akan mampu menahan dan meredakan luapan nafsunya.
Keinginan untuk selalu menang dalam berbicara dan berargumentasi, selalu ingin
benar sendiri atau kelompoknya sendiri yang paling benar dan sebagainya, itu
adalah luapan nafsu. Pribadi yang fitri, akan mampu mengendalikan diri dari
sikap-sikap semcam itu, pasca Ramadhan.
Keempat, al-Ihtimaal bersikap
terbuka terhadap adanya berbagai kemungkinan atau possibility. Dengan demikian seseorang, tidak merasa benar
sendiri, tidak merasa kelompoknya paling benar, sementara kelompok lain
dianggap salah. Yang terjadi saat ini justru, tiap-tiap kelompok sedang merasa
kelompoknya paling benar. Ashabiyah, ikatan solidaritas kelompok, dan
premordialisme yang terlalu kuat akan menghambat tumbuhnya sikap ini. Dengan al-ihtimaal
ini, seseorang akan bisa toleran dengan perbedaan pendapat, namun bukan toleran
dengan kemungkaran. Sayangnya, saat ini banyak fenomena menunjukkan bahwa yang
sedang terjadi justru sebaliknya, coba kita lihat di masyarakat, di
organisasi-organisasi dan sebagainya. Ambil contoh riil misalnya organisasi
mahasiswa di kampus, betapa ahsabiyah kadangkala atau bahkan sering menggeser profesionalisme,
misalnya dalam rekruitmen pengurusnya. Yang parah, jika hal itu akan berlanjut
hingga ketika mereka telah memegang amanah menjalankan roda kehidupan negara
ini.
Kelima, al-hilm atau murah
hati, lapang dada. Keenam, ats-Tsabaat teguh hati, teguh pendirian,
memegang teguh pada prinsip hidup, tidak plin-plan. Semakin mendekati
kefitrian, maka seseorang akan semakin kuat dalam memegang prinsip. Wujudnya
nyatanya, misalnya tidak mempan untuk disogok. Salah satu penyakit di negeri
ini adalah, tidak kuatnya memegang prinsip hidup, sehingga pemegang amanah
gampang disogok oleh para pemilik duwit dan modal, yang berakibat pada kerugian
negara dan masyarakat.
Ketujuh, Kadzm al-Ghaidz, mampu menahan kemarahan. Orang yang mendapatkan kefitrian akan senantiasa
mengedepankan nalar sehat dalam merespons sesuatu baik yang menyenangkan atau
tidak. Bukan mengedepankan kemarahan. Jika, maunya hanya marah-marah saja
berarti kefitrian diri yang diinginkan masih jauh panggang dari api. Terakhir, at-Tawaddud, cinta dan kasih-sayang. Indahnya dunia ini karena ada cinta dan
kasih sayang. Semua akan menjadi indah jika di landasi dengan cinta dan
kasih-sayang. Memandang segala persoalan mengedepankan cinta dan kasih-sayang
bukan amarah karena kekuasaan. Dalam konteks bernegara, prinsip cinta dan
kasih-sayang akan memunculkan pendekatan kesejahteraan, prosperity approach. Sementara itu prinsip
kekuasaan akan melahirkan pendekatan keamanan, scurity approach. Dalam
kehidupan sosial, prinsip cinta dan kasih-sayang akan menebarkan harmoni
kehidupan, dengan demikian pribadi yang fitri hanya akan memancarkan
harmoni-harmoni kehidupan, bukan friksi dan perpecahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar