Jumat, 01 November 2013

DIALOG IMAJINER: WAHABIY (SALAFIY) DAN PUSAT KOSMOLOGI ISLAM DUNIA



Tulisan ini berawal dari dialog imajiner penulis, ketika menjalankan ibadah haji atas undangan kerajaan Arab Saudi dan juga berawal dari renungan setelah pulang dari sana. Dialog imajiner tersebut berkisar pada satu hal, mengapa (madzhab) Wahabiy menjadi panutan di pusat kosmologi Islam dunia (khususnya Kerajaan Saudi Arabia). Sementara itu, di belahan dunia Islam lain seperti di Indonesia Wahabiy menjadi sasaran kritikan, bahkan cacian yang tanpa henti terdengar? Dari situlah kemudian penulis ingin mengurai dialog imajiner yang terjadi dalam diri penulis hingga menemukan jawaban dan simpulan.

Asumsi-asumsi dari tulisan ini lebih bersifat teologis ketimbang sosiologis. Karena itu sangat terbuka untuk dikritik dengan perspektif sosiologis atau yang lain. Asumsi pertama bahwa apa yang terjadi di dunia tidak pernah terlepas dari skenario besar (qadar) Allah. Kedua, Allah tidak akan membiarkan manusia menghancurkan pusat kosmologi Islam dunia (Ka’bah). Referensi sejarah menginformasikan hal tersebut, sebagaimana kebinasaan pernah menimpa Abrahah ketika dirinya bermkasud menyerang ka’bah. Pasukan Allah burung “Ababil” telah membinasakannya sebelum ia sampai ke kota Makkah. Peristiwa tersebut diabadikan Allah dalam surat al-Fil. Asumsi ketiga didasarkan pada teori gelombang atau teori mata air. Di titik pusat gelombang, gerakan gelombang kuat dan semakin menjauh akan semakin memudar bercampur dengan gelombang-gelombang lain, dan akhirnya hilang. Atau teori mata air, di sumbernya air yang keluar selalu jernih dan murni, ketika mengalir ke muara maka air tersebut bercampur dengan berbagai unsur lain. Pusat kosmologi Islam adalah Makkah dan Madinah di sanalah gelombang dan kemurnian Islam dapat diperoleh. Jika Ingin melihat Islam murni dalam makna tauhid dan ubudiyah, sekali lagi dalam makna tauhid dan ubudiyah, maka lihatlah pengamalan Islam di Makkah dan Madinah. Sebagaimana jika kita ingin mendapatkan air yang masih murni, maka datanglah ke sumber mata airnya, jangan di aliran yang jauh dari sumbernya. Sebagaimana pula, jika orang ingin mengerti tentang budaya Jawa yang murni maka datanglah ke pusat budaya Jawa, di Keraton Jogjakarta atau Surakarta, bukan di pesisir pulau Jawa. Meskipun memang, budaya Jawa di pesisir pulau Jawa termasuk budaya Jawa juga, tapi tentu saja tidak semurni di pusatnya.

Dari asumsi-asumsi tersebut, penulis sampai pada kesimpulan antara lain, keberadaan madzhab Wahabiy di Arab Saudi tidak terlepas dari skenario besar Allah dalam menjaga kemurnian Islam. Demikian juga dengan kekuasaan yang menjadi pemangkunya, tidak terlepas dari skenario Allah tersebut. Bukankah Allah telah menegaskan dalam sebuah ayat (Surat Ali Imran, ayat 26) bahwa Allah akan memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan akan mencabut kekuasaan dari orang yang Dia kehendaki pula. Akan meninggikan derajat orang yang Dia kehendaki dan akan menghinakan orang yang Dia kehendaki pula. Jika demikian, mengapa di antara Saudara-saudara kita seakan tidak menerima keputusan Allah yang demikian itu, dengan melontarkan kritik bahkan cacian kepada madzhab Wahabiyah hanya gara-gara tidak sesuai dengan Islam yang dipahami di daerah pinggiran Islam?. Tidakkah kita mencoba untuk membalikkan kritik dan pertanyaan tersebut kepada kita? Misalnya mengapa Islam yang kita jalankan di pinggiran ini ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan di pusatnya? Haruskah yang di sumbernya mengacu dan mengikuti kepada yang di pinggiran?
Selanjutnya, lagi-lagi ini didasarkan pada asumsi-asumsi teologis. Bahwa Allah telah membuat skenario besar dengan menghidupkan madzhab Wahabiy di Arab Saudi, untuk menjaga pilar-pilar kemurnian Islam di sana. Menolak kenyataan tersebut (sekali lagi) dalam kaca mata teologis, dapat dimaknai menolak ketentuan Allah. Tidak perlu dikritik atau dicaci, kalau memang Allah menghendaki maka dengan sendirinya Islam yang berada di garis-garis pinggiran akan masuk ke pusaran dan akan menggantikan madzhab Wahabiy. Pertanyaannya kemudian adalah akankah air murni di pusat sumber mata air, akan digantikan oleh air di muara?
Simpulan lainnya, meskipun kita mengamalkan Islam tidak persis seperti di pusat dan sumbernya kita mesti percaya bahwa apa yang kita amalkan juga bersumber dari sana. Kita masih memiliki benang merah dengan di pusatnya. Syukur-syukur bisa semurni yang di sumbernya. Simpulan selanjutnya, rasanya menjadi agak tidak pas jika kita yang di pinggiran, pengamalan Islamnya tidak persis dengan pengamalan di sumber Islam justru kita yang mengkritik sumber atau pusatnya. Seperti tidak pas juga jika budaya pesisir pula Jawa memaksakan kehendak kepada pusat budaya Jawa di Keraton Jogjakarta dan Surakarta, untuk sama seperti di budaya pesisir. Jadi tidak usah khawatir, toh pusat budaya Jawa di Keraton Jogjakarta tetap akan mengakui bahwa di budaya pesisir Jawa juga bagian dari budaya Jawa, tapi perlu diingat bahwa pusatnya itu di Jogjakarta atau Surakarta. Jangan dibalik. Demikian pula dengan keislaman kita, tidak usahlah kita khawatir. Meskipun pengamalan Islam kita tidak persis dengan pengamalan Islam di pusat atau sumbernya, akan tetapi tetap saja Allah akan menerima Islam kita. Yang perlu diingat tidak perlulah kita mengkritik atau mencemooh Islam di pusatnya, tidak perlu lah kita menginginkan Islam di pusatnya harus sama dengan Islam yang di pinggiran.

Inilah epilog dari dialog imajiner penulis. Sekali lagi, dialog dan simpulannya ini lebih didasarkan pada asumsi-asumsi teologis dari pada sosiologis-akademis. Ini lebih mirip dengan pandangan Rasyid Ridha ketimbang Khalid Abou al-Fadhl dan Hamid al-Gar. Karena itu, sangat terbuka untuk dikritik. Kritik tetap akan diterima, tapi tidak akan direply, lagi-lagi didasarkan pada asumsi teologis. Merespons kritik lama-lama akan menjadi perdebatan, dan perdebatan tidak akan membawa berkah kecuali hanya akan mematikan hati pelakunya. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar: