Secara tidak sengaja pandangan saya tertuju
ke sebuah buku (terjemahan) yang aslinya buku tersebut berjudul; mafahim
yajibu ‘an tushahaha, kalau diterjemahkan secara apa adanya kira-kira
menjadi “pemahaman-pemahaman yang perlu ditashih”. Dalam pengantarnya
penulis buku tersebut mengutip beberapa hadits yang intinya kurang lebih bahwa
di jazirah Arab tidak akan hidup dua agama yang berdampingan (selain Islam),
iman yang murni akan kembali ke Madinah, iman yang benar-benar murni akan
kembali ke Hijaz. Itu adalah do’a Rasulullah yang dipanjatkan kepada Allah.
Saya tidak tahu apakah ketika pandangan
saya tertuju pada buku tersebut, dan membuka kata pengantar serta membaca
hadits tersebut, hanya sebuah kebetulan atau taqdir Allah. Agar tidak usah
berpolemik antara takdir atau kebetulan, sebaiknya hal itu dilupakan saja. Hanya
saja proses menemukan hadits tersebut seakan menjadi sebuah episode yang
bersambung dengan tulisan saya Dialog Imajiner sebelumnya. Betapa tidak? Ketika
di tulisan sebelumnya, saya mendasarkan keyakinan dan iman saya bahwa Allah
menjaga kemurnian Islam di pusat kosmologinya (Makkah dan Madinah) dari
ketercampuran hal-hal yang dapat merusaknya, ternyata berdasar hadits
Rasulullah, kemurnian Islam di Jazirah Arab merupakan do’a dari Rasulullah dan
tentu dikabulkan oleh Allah. Beliau sangat menghendaki Islam di Jazirah Arab
pada umumnya, Makkah, Madinah, Hejaz pada khususnya tetap murni terhindar dari
pemahaman-pemahaman lain di luar Islam. Bagaimanapun, karena Makkah dan Madinah
adalah pusat Islam, sumber di mana Islam mengalir ke banyak muara. Rasulullah
dengan kemampuan profetiknya sudah sangat mengetahui, bahwa Islam akan mengalir
ke banyak muara yang jauh jaraknya, dan lama waktunya. Karena itu dalam
perjalanan Islam tersebut dipastikan akan ikut mengalir pula berbagai hal yang
tidak murni dari Islam di sumbernya (Makkah dan Madinah). Maka sangat bisa
dipahami jikalau Rasulullah menginginkan Islam di pusatnya Makkah dan Madinah
tetap murni. Sebagaimana yang bisa kita saksikan kemurnian Islam di dua kota
suci tersebut. Anasir-anasir yang akan mencampuri kemurnian Islam di sana,
dengan sendirinya akan minggir atau memang dipinggirkan -tentunya melalui
proses sosiologis.
Inilah beberapa hadits Rasulullah yang
menurut saya menguatkan asumsi saya pada Dialog Imajiner sebelumnya.
لا يجتمع
دينان في جزيرة العرب
Artinya: Tidak akan berkumpul dua agama di
Jazirah Arab.
Hadits tersebut secara jelas
menginformasikan bahwa di Jazirah Arab tidak akan hidup dua agama yang
berdampingan. Inti dari agama ada pada keimanannya, atau aqidahnya. Karena itu
keimanan yang bertentangan dengan Islam -biqudratillah- tentu akan
tersingkir dari jazirah Arab. Karena itu kita tidak akan menemukan
keyakinan-keyakinan yang tidak bersumber dari Islam, karena Rasulullah tidak
menghendaki hal itu terjadi. Dan tentu permohonan yang disampaikan Rasulullah
tersebut di “iya”kan oleh Allah. Wajar jika kemudian di sana tidak ada
hitungan-hitungan hari baik dan hari tidak baik untuk mendirikan rumah, tidak
ada keyakinan bahwa bulan Suro akan membawa sial, sehingga orang tidak
berani mengadakan pesta pernikahan dan sebagainya. Karena keyakinan semacam
itu, hanya ada di Jawa, dan tidak akan mungkin keyakinan semacam itu hidup
bersandingan dengan aqidah Islam yang murni dan mulia di jazirah Arab.
Yang perlu disampaikan pula di sini kata “tidak”
di dalam hadits tersebut tentu saja bukan dalam maksud menegasikan atau
meniadakan secara totalitas. Artinya masih ada pula orang yang beragama selain
Islam, atau berkeyakinan yang tidak murni di Jazirah Arab, akan tetapi bukan
sebagai arus utama atau mainstream. Ungkapan tersebut seperti kalau kita
ditanya teman seperti ini: “Sudah ada orang di sana”? Kita menjawab: “Wah belum
ada orang” Artinya bukan kok tidak ada orang sama sekali, tapi maksudnya sudah
ada orang tapi baru sedikit sekali, belum banyak yang datang.
Hadits lainnya adalah sebagai berikut:
أللهم لا تجعل
قبري وثنا يعبد
Artinya: Ya Allah jangalah Engkau jadikan
kuburku menjadi berhala yang disembah.
Ini adalah doa Rasulullah kepada Allah,
agar kuburnya tidak dijadikan sesembahan oleh umatnya. Doa ini tentu sangat
dikabulkan oleh Allah hingga akhir zaman. Kalau kita melihat bagaimana para
petugas yang berjaga melarang orang berlama-lama di depan makam Rasulullah,
tentu hal tersebut salah satu bentuk dari keterkabulan doa Rasulullah. Di
hadapan makam cukup membaca salam dan do’a untuk Rasulullah.Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan
terjadi, jika kubur atau makam Rasulullah diperlakukan sebagaimana makam atau
kubur ulama-ulama, dan para wali di Indonesia, artinya melampaui batas-batas tawassul yang diperbolehkan oleh syariat Islam.
Saya berdialog dalam diri saya sendiri, saya pernah diajak oleh Pak Rahmat Hariyadi mengadakan penelitian. Salah satu data pelengkapnya adalah berkunjung ke makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus. Kelambu penutup makam tersebut secara periodik dicuci dan juga diganti, dan tetesan air cucian apalagi kainnya menjadi rebutan masyarakat karena diyakini memiliki tuah. Fenomena semacam itu juga terjadi di makam-makam tokoh ulama kharismatik Islam di Jawa. Khususnya para wali. Saya sangat yakin para ulama yang makam dan kelambu penutup makamnya dijadikan rebutan juga tidak menginginkan hal itu terjadi. Tetapi kenyataannya hal tersebut terjadi. Memang dahulu para shahabat bertabarruk dengan atsar milik Rasulullah, akan tetapi apakah kemuliaan Rasulullah dan atsar beliau setara dengan manusia lain? Tentu saja tidak. Tidak ada yang lebih muliah dari Rasul dan apa yang melekat pada diri Rasulullah.
Saya berdialog dalam diri saya sendiri, saya pernah diajak oleh Pak Rahmat Hariyadi mengadakan penelitian. Salah satu data pelengkapnya adalah berkunjung ke makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus. Kelambu penutup makam tersebut secara periodik dicuci dan juga diganti, dan tetesan air cucian apalagi kainnya menjadi rebutan masyarakat karena diyakini memiliki tuah. Fenomena semacam itu juga terjadi di makam-makam tokoh ulama kharismatik Islam di Jawa. Khususnya para wali. Saya sangat yakin para ulama yang makam dan kelambu penutup makamnya dijadikan rebutan juga tidak menginginkan hal itu terjadi. Tetapi kenyataannya hal tersebut terjadi. Memang dahulu para shahabat bertabarruk dengan atsar milik Rasulullah, akan tetapi apakah kemuliaan Rasulullah dan atsar beliau setara dengan manusia lain? Tentu saja tidak. Tidak ada yang lebih muliah dari Rasul dan apa yang melekat pada diri Rasulullah.
Rasulullah tidak menginginkan kultus
terhadap dirinya merebak di tengah-tengah umat yang beliau cintai. Beliau tidak
ingin makam atau kuburnya dikultuskan sebagaimana terjadi di dunia Islam di
luar jazirah Arab. Karena sesuai dengan doa beliau sebelumnya bahwa yang ada di
Madinah hanyalah aqidah yang benar dan yang lurus yang tidak tercampur dengan
hal-hal lain. Meskipun memang bertawassul dan bertabarruk dengan atsar beliau dibenarkan oleh syariat, namun tidak tertutup kemungkinan bagi umat beliau yang baru sekali melihat makam beliau -seperti halnya diri saya- akan terjebak pada pengkultusan yang melampaui batasan tawassul yang dibenarkan.
Sekalipun memang sulit untuk dipungkiri,
bahwa banyak umat beliau yang berkunjung ke makam beliau sulit untuk membendung
rasa haru yang mengharuskan air mata keluar sejadi-jadinya dengan diiringi isak
tangisan yang tidak sebagaimana biasanya dirasakan. Tapi tetap beliau tidak
mengingikan aqidah Islam tercampur dengan kultus yang berlebihan yang merusak
kemurnian aqidah Islam.
Hadits berikutnya:
إن الإيمان
ليأرز المدينة كما تأرز الحية إلى جحرها
Artinya: Sesungguhnya iman akan mengungsi ke Madinah seperti ular
mengungsi ke liangnya.
Pengendikan Rasulullah ini semakin menguatkan bahwa memang
Rasulullah tidak membiarkan tanah suci tercampur sedikitpun dengan hal-hal yang
merusak kemurnian aqidah Islam. Karena Madinah dan Makkah adalah pusat di mana Islam
muncul dan terlahir. Jika dipusatnya Islam sudah tidak murni lagi bagaimana
dengan di daerah-daerah lain yang jauh dari pusat Islam.
Hadits Rasul tersebut tentu saja sudah
cukup bagi kita yang tidak berada di Madinah untuk menerima dawuh kanjeng Rasul ini, bahwa
Iman yang benar akan kembali di Madinah. Artinya apa? Kalau ingin aqidah kita
murni tentu harus secara ikhlas merujuk ke Madinah, apa yang dilakukan di
Madinah, sudah itulah yang murni. Jika kita menuduh yang tidak-tidak terhadap aqidah
yang ada di Madinah, tentu kita sudah memberanikan diri untuk membantah dawuh
dan titah Rasul. Saya yakin setiap orang Islam tidak ingin menjadi orang
yang mbalelo terhadap dawuh Rasulnya. Karena itu sekali lagi
janganlah kita “iri” dengan titah Rasul ini. Inilah dawuh Rasulullah, kalau ada
aqidah kita yang tidak sesuai dengan yang di Madinah, tentu tidak perlu lah
kita mengaku lebih benar dari yang di Madinah. Karena yang di sana sudah
dijamin kemurniannya oleh pembawa Islam itu sendiri, manusia paling agung
sejagat.
إن الإيمان
ليأرز إلى الحجاز
Artinya: Sesungguhnya iman akan mengungsi
ke Hijaz
Demikian juga dengan hadits yang terakhir
ini.