Kamis, 24 November 2011

TAWASSUL

Tawassul dalam Doa

Dilihat dari bidangnya tawassul adalah sebuah konsep yang berkaitan erat dengan aqidah (baca: keyakinan), yang sifatnya tidak kasat mata. Akan tetapi pada tingkat praktis amaliyah dapat diamati dengan jelas. Dari sisi bahasa, istilah itu berasal dari kata yang terdiri dari tiga huruf waw, sin dan lam (و-س-ل). Ia bermakna menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk mendapatkan sesuatu yang dimaksud. Tawasul dalam berdoa berarti menyertakan perantara dalam berdoa dengan maksud doanya itu akan lebih dikabulkan oleh Allah.1 Sedangkan wasilah (وسيلة)bermakna semua sarana yang digunakan untuk menuju kepada yang dimaksud. Sementara itu Quraish Shihab menjelaskan bahwa wasilah berarti sesuatu yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan yang lain atas dasar keinginan yang kuat untuk mendekat. Istilah ini mirip dengan kata washilah (وصيلة), yang berarti sesuatu yang menyambung sesuatu dengan yang lain.2 Dengan demikian wasilah dalam doa adalah segala sarana yang dapat mengantarkan seseorang sehingga dapat lebih cepat terkabul doanya.

Sementara itu ada yang memaknai tawassul sebagai melaksanakan hubungan secara ruhaniyah (interaksi ruhaniyah) antara orang yang sedang beribadah kepada Allah dengan orang lain sebagai guru-guru pembimbing ruhaniyah -baik kepada yang masih hidup ataupun yang sudah mati – dalam rangka mengambil jalan untuk sampai (wusul) kepada Allah swt, serta bersama-sama dalam rasa dan nuansa di dalam pelaksanaan ibadah dan pengabdian yang sedang dijalani. Definisi yang agak panjang itu dikemukakan oleh KH. Muhammad Luthfi Ghozali dalam bukunya yang berjudul "Mengintip Alam Barzakh Tawassul Mencari Allah dan Rasul Lewat Jalan Guru".3

Sebelum disampaikan berbagai pendapat dan persoalan yang berkembang di seputar persoalan ini, terlebih dahulu akan diuraikan tentang tawassul/wasilah yang tidak diperselisihkan keberadaannya. Artinya hal itu memang ada dasar pelaksanaanya dalam syariat. Beberapa bentuk tawassul yang tidak diperselisihkan itu antara lain;

1. Tawassul dengan nama-nama, sifat-sifat, perbuatan serta ilmu Allah. Hal itu berdasar pada firman Allah dalam surat al-A'raf ayat 80, sebagai berikut;

ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها

Artinya: Hanya milik Allah Asma al-Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma al-Husna

Rasulullah juga pernah menjelaskan sebagai berikut:

اللهم بعلمك الغيب وقدرتك على الخلق احييني ما علمت الحياة خيرا لي

Artinya: "Ya Allah dengan pengetahuan-Mu tentang yang gaib dan kekuasaan-Mu atas segenap makhluk, hidupkanlah aku selama Engkau mengetahui bahwa hidup itu lebih baik bagiku"

2. Tawassul kepada Allah dengan jalan beriman kepada-Nya dan taat kepada-Nya, seperti firman Allah yang menjelaskan tentang ulul al-bab:


Artinya: Ya Tuhan kami, sungguh kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kalian kepada Tuhan kalian," maka kami pun beriman. Ya tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami… (Ali-Imran ayat 93)

Dalam ayat itu orang-orang memohon ampunan kepada Allah dengan wasilah atau media keimanan mereka. Yakni dengan keimanan mereka itu diharapkan Allah berkenan mengampuni dosa-dosa mereka. Penjelasan yang sama dapat dilihat pada surat Ali Imran ayat 53 dan al-Mukminun ayat 109.

3. Tawassul kepada Allah dengan jalan berdoa menyebut dengan jelas kesulitan-kesulitan dan hajatnya.

Hal itu sebagaimana dilakukan oleh Nabi Musa ketika memohon kepada Allah. Seperti dijelaskan oleh al-Qur'an dalam surat al-Qashash ayat 24 sebagai berikut:

Artinya: … Ya Tuhanku, sungguh aku memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.

4. Tawasul kepada Allah melalui doa orang yang diharapkan dapat makbul, seperti halnya shahabat meminta Nabi saw. berdoa untuk mereka.4 Jadi seseorang meminta kepada orang lain untuk mendoakannya agar apa yang diharapkannya dapat dikabulkan oleh Allah. Karena seseorang itu dianggap sebagai sosok yang shalih yang dekat kepada Allah. Tawassul pada jenis terakhir ini tentu saja hanya bisa dilakukan ketika seseorang itu masih hidup. Karena setelah orang itu mati tidak lagi dapat memanjatkan doa, bahkan untuk dirinya sendiri.5

Persoalan muncul, ketika para nabi, wali, ulama atau orang-orang shalih yang dekat dengan Allah itu telah meninggal dunia dan mereka tetap dijadikan wasilah (perantara) bagi terkabulnya doa yang dipanjatkan oleh seseorang. Wujud wasilahnya bukan lagi berupa doa yang dibacakan oleh orang-orang suci itu, melainkan eksistensi mereka di alam barzakh, keagungan dan kebersihan jiwanya yang dijadikan wasilah bagi terkabulnya suatu doa.

Dari persoalan itu, kemudian timbul pro dan kontra di kalangan umat Islam. Banyak di antaranya yang memberikan pembenaran terhadap praktek tawasul/wasilah semacam itu yang sudah barang tentu didukung dengan berbagai argumentasi. Namun tidak sedikit pula yang menolak dengan keras model tawassul/wasilah semacam itu. Bahkan dinilai oleh sebagian umat Islam praktek tawassul seperti itu akan menjerumuskan orang pada dosa syirik, untuk itu harus dihindari jauh-jauh.

Pendapat yang Pro Tawassul

Mereka yang yakin akan kebenaran tawassul, menempatkan para nabi, wali dan orang-orang shalih sebagai wasilah (perantara) antara diri mereka dengan Allah. Dengan demikian -meskipun telah meninggal- orang-orang suci seperti wali itu masih sangat penting dan dibutuhkan keberadaannya. Yakni sebagai perantara bagi kaum muslimin yang awam ketika mereka berhubungan dengan Allah khususnya dalam berdoa.

Mereka yakin bahwa seorang wali dapat membantu mereka melepaskan diri dari kesulitan ketika dimintai pertolongan. Dan bagi yang memanggilnya dalam kesulitan maka kesulitan itu akan dilancarkan penyelesaiannya. Demikian juga bagi yang memiliki hajat, kemudian bertawassul dengan wali, maka hajatnya itu akan dikabulkan. Berbagai keyakinan itu menunjukkan pentingnya tawassul dan wasilah dalam berdoa atau beribadah kepada Allah.6

Jika dicermati, tampak bahwa keyakinan akan pentingnya wasilah itu terbangun atas dasar beberapa hal berikut;

a) Asumsi bahwa orang-orang awam selain para nabi, wali dan orang-orang suci lainnya adalah kotor. Kotornya diri orang awam itu timbul karena dosa, yang pada gilirannya menjadikan mereka jauh dari Allah. Karena jauh maka perlu perantara.7 Siapa dan apa perantara itu, tidak lain adalah para orang suci di atas.

b) Ayat-ayat al-Qur'an antara lain surat al-Maidah ayat 35, al-Isra` ayat 57.

يأيها الذين أمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة وجاهدوا في سبيل الله لعلكم تفلحون

Artinya: Hai orang-orang yang beriman bertawakallah kepada Allah dan carilah wasilah yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Dan bejihadlah kalian pada jalan-Nya supaya kamu mendapatkan keberuntungan

أولئك الذين يدعون يبتغون إلى ربهم الوسيلة أيهم اقرب ويرجون رحمته ويخافون عذابه إن عذب ربك كان محذورا

Artinya: Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah kepada Tuhan mereka, siapa yang lebih dekat dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut pada adzab-Nya sesungguhnya adzab Tuhanmu adalah sesuatu yang ditakuti.

Dua ayat di atas dijadikan oleh sementara ulama sebagai dalil dalam membenarkan pelaksanaan tawassul/wasilah (perantara).8 Tercakup dalam kata wasilah pada dua ayat di atas adalah para nabi, wali, atau ulama-ulama yang shalih, yang hati mereka suci sehingga dekat dengan Allah.

c) Sebuah riwayat tentang Umar ketika meminta hujan kepada Allah lewat doa Abbas bin Abdul Muthallib paman nabi.9 Riwayat itu sebagai berikut;

أن عمر بن الخطاب (ض) كان إذا قحطوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال فيسقون

Artinya: Apabila terjadi kekeringan pada masyarakat, Umar bin Khaththab memohon turun hujan dengan perantaraan 'Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau berdoa: "Ya Allah dahulu kami biasa bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami. Sekarang kamu bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami. Oleh karena itu turunkanlah hujan kepada kami." Kata perawi: "Masyarakat lalu dituruni hujan".10

Berdasar riwayat di atas, diyakini bahwa tawassul yang mereka lakukan itu telah ada contoh sebelumnya. Mereka juga yakin bahwa tawassul yang dilakukan itu tidak berbeda dengan yang pernah dilakukan Umar. Yakni menempatkan Rasulullah dan para shahabat serta orang suci lainnya seperti ulama sebagai perantara antara diri mereka dengan Allah. Dalam hal ini, ulama juga diposisikan sebagai wasilah sebagaimana Rasulullah, karena mereka adalah pewaris para nabi.

d) Keyakinan bahwa ada orang-orang suci yang eksistensinya tetap sama antara hidup dan matinya. Artinya setelah matipun mereka -orang-orang suci seperti nabi dan wali- tetap bisa dimintai syafaat, berkah dan manfaat.11 Keyakinan demikian itu didasarkan atas Surat al-Baqarah ayat 154 sebagai berikut:

ولا تقولوا لمن يقتلوا في سبيل الله اموات بل أحياء ولكن لا تشعرون

Artinya: Janganlah kalian mengatakan kepada orang yang gugur di jalan Allah (mereka itu mati), bahkan mereka hidup akan tetapi kalian tidak merasakannya.

Imam al-Alusi, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, menjelaskan bahwa tidak mengapa berdoa kepada Allah dengan menyebut dan bertawassul dengan Nabi saw. baik ketika masih hidup atau setelah meninggal dunia. Dalam artian bahwa yng bersangkutan berdoa kepada Allah demi kecintaan-Nya kepada Nabi Muhammad saw. kiranya Allah swt. itu mengabulkan permohonan orang yang berdoa.12

Praktek tawassul seperti disebut di atas, dalam Islam telah ada sejak waktu yang sangat lama. Imam Tarekat Qadiriyah, Syaikh Abdul Qadir Jailaniy (w. 561H.) yang hidup pada masa kekuasaan Bani Abbas pernah melakukannya. Beberapa potongan doanya seraya bertawassul dengan Rasulullah dapat disimak sebagaimana berikut ini;

"Ya Allah berilah keselamatan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau berikan kepada Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Mulia lagi Maha Terpuji. Ya Allah berilah Muhammad wasilah, kemuliaan derajat yang tinggi, kedudukan yang tepuji yang engkau janjikan kepadanya…Sesungguhnya aku mendatangi Nabi-Mu untuk bertaubat dari dosa-dosaku dan meminta ampunan kepada-Mu, maka aku meminta kepadamu agar memberiku ampunan, seperti halnya engkau menerimanya bagi orang yang mendatanginya ketika beliau masih hidup, lalu menyatakan dosa-dosanya, maka beliau mendoakannya dan Engkau memaafkannya. Ya Allah sesungguhnya aku menghadap-Mu bersama Nabi-Mu, nabi pembawa rahmat. Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menghadapmu untuk menghadap Tuhanku agar dia mengampuni dosa-dosaku. Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan haknya agar engkau mengampuniku dan merahmatiku..."13

Di sebagian kalangan umat Islam, tawassul sering dilakukan dengan membaca manaqib (biografi) wali. Bentuk tawassul -dengan bacaan manaqib- seperti itu, hingga saat ini merupakan fenomena yang mudah ditemui di sebagian umat Islam. Diyakini oleh mereka bahwa dengan membaca manaqib itu dapat memudahkan tercapainya hajat atau keperluan yang diinginkan oleh seseorang. Baik hajat dunia maupun akhirat.14

Sedangkan kalimat yang diucapkan ketika bertawassul dalam berdoa banyak ragamnya, sebagaimana yang tertera dalam banyak kitab manaqib. Berikut ini salah satu contoh kalimat tawassul yang diucapkan ketika berdoa;

اللهم إنا نسألك ونتشفع إليك بنبيك محمد صلي الله عليه وسلم وأهل بيته ونتوسل إليك بوليك الشيخ عبد القادر الجيلانى. ياشيخ الثقلين ياقطب الربانى ياغوث الصمدنى. يا محي الدين يا ابا محمد. ياسيدي الشيخ عبد القادر الجيلانى إنا نتوسل بك إلى ربك في قضاء حاجاتنا هذه...

Artinya: Ya Allah kami memohon kepada-Mu dan meminta syafaat kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad saw. dan ahli baitnya, dan kami bertawassul kepada-Mu dengan walimu al-Syaikh Abdul Qadir Jailaniy. Wahai Syaikhnya jin dan manusia, wahai qutb al-rabbaniy, wahai Penolong yang abadi, wahai Penghidup Agama, wahai Abu Muhammad. Wahai Tuanku al-Syaikh Abdul Qadir Jailaniy, sesungguhnya kami bertawassul denganmu pada Tuhanmu dalam menyelesaikan hajat kami ini…15

Ada pula lafal-lafal tawassul dalam berdoa yang berupa bait, semacam bait syair. Salah satu bait yang masyhur dan sering diucapkan oleh sebagian umat Islam itu antara lain sebagai berikut;

عباد الله رجال الله # أغيثونا لاجل الله

Wahai hamba-hamba Allah, laki-laki hamba-hamba Allah, Tolonglah kami karena Allah.

وكونوا عوننا لله # عسى نحظى بفضل الله

Jadilah kalian penolong-penolong kami karena Allah, Barangkali berhasil dengan fadhilah Allah

ويا أقطاب ويا أنجاب # ويا سادات ويا أحباب

Wahai Wali Aqthab, wahai Wali Anjab, wahai para tuan, wahai para kekasih

وأنتم يا أولى الاباب # تعالوا وانصروا لله

Dan kalian wahai orang yang berakal, marilah tolonglah kami karena Allah

سئلناكم سئلناكم # وللزلفى رجوناكم

Kami memohon kepada kalian, kami mohon kepada kalian, dan karena derajat (kalian di sisi Allah) kami mengharapkan kalian (menolong kami)

وفى أمر قصدناكم # فشدوا عزمكم لله

Dan dalam suatu perkara kami tujukan kepada kalian, maka kuatkanlah niat kalian karena Allah.16


Potongan bait di atas menunjukkan betapa para ulama atau wali yang sudah meninggal dunia memiliki posisi sangat penting. Mereka diyakini tidak hanya sebagai perantara untuk terkabulnya suatu doa, lebih dari itu mereka orang-orang yang telah meninggal dunia itu dapat dimintai pertolongan untuk membantu tercapainya maksud-maksud tertentu.

Agaknya keyakinan sebagaimana yang tersirat dalam bait-bait itu didasari atau paling tidak terinspirasi dengan sebuah riwayat sebagai berikut:

عن عبد الله بن مسعود (ض) عن رسول الله (ص) قال: إذا انفلتت دابة أحدكم بأرض فلاة فاليناد: ياعباد الله احبسوا, يا عباد الله احبسوا, يا عباد الله احبسوا, فإن لله عز وجل في الأرض حاصرا سيحبسه.

Artinya: Dari Abdullah bin Mas'ud ra. dari Rasulullah saw. beliau bersabda: "Jika hewan (kendaraan) salah satu dari kalian lepas di suatu padang sahara (tanah lapang) maka panggillah: Wahai hamba-hamba Allah haling-halangilah (tangkaplah), Wahai hamba-hamba Allah haling-halangilah (tangkaplah), Wahai hamba-hamba Allah haling-halangilah (tangkaplah). Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla memiliki penjaga (pengepung) di suatu daerah, maka dia (penjaga) itu akan menangkapnya.17

Demikian berbagai dalil dan argumentasi yang dikemukakan oleh kaum muslimin yang mengabsahkan tawassul dalam beribadah pada umumnya dan dalam berdoa pada khususnya.

Pendapat yang Kontra Tawassul

Pada pihak lain, tidak sedikit umat Islam yang menolak dengan tegas tawassul/wasilah dalam berdoa. Tentu saja dengan argumentasi yang samasekali betolak belakang dengan yang telah diuraikan sebelumnya. Salah satu ulama terkenal yang secara tegas menolaknya adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Dia menjelaskan bahwa hukumnya boleh meminta syafaat atau pertolongan orang lain, untuk mendapatkan karunia Allah selama orang itu masih hidup. Seperti meminta petolongan kepada Nabi Muhammad agar mendapat rahmat Allah. Namun setelah beliau wafat hal itu tidak diperkenankan lagi..

Rujukan yang digunakannya adalah sebagai berikut:

عن جبير بن معطم (ض) قال: جاء اعرابي إلى النبي (ص) فقال يارسول الله, نهكت الأنفس وجاع العيال وهلكت الأموال فاستسق لنا ربك, فإنا نستشفع بالله عليك وبك على الله فقال النبي سبحان الله سبحان الله فما زال يسبح حتى عرف ذلك في وجوه أصحابه ثم قال: ويحك, أتدري ما الله؟ إن شأن الله أعظم من ذلك إنه لا يستشفع بالله على أحد

Artinya: Dari Jubair bin Mu'thim ra. berkata: "Datanglah seorang Badui kepada Rasulullah seraya berkata: "Ya Rasulullah badan binasa keluarga kelaparan, harta musnah, mintakanlah siraman untuk kami kepada Tuhanmu, sesungguhnya kami minta syafaat Allah terhadapmu dan syafaatmu terhadap Allah",. Rasulullah menjawab: "Subhanallah, subhanallah, beliau terus menerus bertasbih sampai terlihat hal itu tergambar pada wajah para shahabatnya. Kemudian beliau bersabda: "Celakalah kamu, tahukah kamu apakah Allah itu? Sesungguhnya Allah itu lebih agung dari yang demikian itu. Sesungguhnya tidak dapat diminta syafaat kepada Allah terhadap seseorang. 18 (Hadits diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud)

Selanjutnya dia menilai bahwa meminta syafaat kepada Allah terhadap diri seseorang dari makhluk-Nya, justru akan menjadikan orang itu celaka.19 Penjelesannya yang lain, bahwa meminta petolongan kepada selain Allah (semisal kepada para wali) dalam hal-hal yang sifatnya maknawiy (bukan fisikal) adalah perbuatan syirik.20 Ayat-ayat al-Qur'an yang digunakan sebagai referensi antara lain; al-Ankabut ayat 29, al-Naml ayat 62, Yunus ayat 106-107. Ayat-ayat yang disebutkan itu pada intinya melarang kaum mukminin meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal-hal yang sifatnya maknawi.21

Ia juga mendasarkan pendapatnya itu pada sebuah hadits yang menjelaskan tentang tidak bolehnya beristighasah melalui Rasulullah, akan tetapi beristighasah itu hanya boleh langsung kepada Allah. Hadits dimaksud sebagai berikut;

روى الطبرانى بإسناده: أنه كان زمن النبي (ص) منافق يؤذى المؤمنين فقال بعضهم: قوموا بنا نستغيث برسول الله (ص) من هذا المنافق. فقال النبي (ص) إنه لا يستغاث بي وإنما يستغاث بالله

Artinya: Thabraniy meriwayatkan di dalam kitab isnadnya bahwa pada zaman Nabi saw. terdapat orang munafik yang selalu menyakiti orang mukmin. Maka di antara orang mukmin itu berkata: "Marilah kita minta dihilangkan kesukaran kita dari kelakuan orang munafik ini kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. bersabda: "Bukanlah permintaan hilangnya kesukaran (beristighasah) itu melalui aku dan kepadaku, akan tetapi mintalah dihilangkan kesukaran itu kepada Allah dan dengan Allah.22

Kebanyakan ulama yang menolak tawassul/wasilah dengan para nabi, ulama atau orang-orang shalih dalam doa, berpemahaman bahwa yang demikian itu termasuk bid'ah yang menjerumuskan pada perbuatan syirik. Penilaian demikian itu dapat disimak dari berbagai fatwa ulama. Abu Hanifah sebagaimana dikutip oleh Rasyid Ridha menjelaskan bahwa, memohon kepada Allah dengan perantara makhluknya adalah perbuatan yang dilarang. Beliau melarang berdoa dengan ucapan semisal: "Aku memohon kepada-Mu dengan hak para Nabi-Mu. Mengapa yang demikian itu tidak boleh, karena tidak ada hak seorang makhluk atas Khaliqnya terhadap terkabul atau tidaknya permintaan itu.23

Pada kesempatan lain Imam Abu Hanifah berkata: "Makruh hukumnya seseorang berdoa dengan mengatakan: "Saya mohon kepada-Mu berdasarkan hak Si Fulan atau berdasarkan Baitul Haram dan dan al-Mayaril Haram". Ia juga pernah mengatakan: "Tidak pantas seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan menyebut Asma Allah. Dan saya tidak suka bila ada orang menyebutkan dengan sifat-sifat kemuliaan pada Arsy-Mu atau dengan menyebutkan hak makhluk-Mu".24

Syaikh Ibnu Utsaimin, Ulama Kerajaan Arab Saudi berpendapat bahwa keagungan dan kesalihan para nabi dan ulama itu tidak bersinggungan sedikitpun dengan terkabul atau tidaknya doa. Ia hanya berkaitan dengan pribadi orang-orang suci tersebut di sisi Allah. Jadi wasilah dengan model ini hanya sia-sia belaka.25

Beliau juga menyatakan bahwa tidak ada yang mengetahui hal-hal yang menyebabkan suatu doa itu terkabul kecuali hanya berdasar ketetapan syariat. Bagi yang menetapkan bahwa sesuatu itu bisa menjadi sarana (wasilah) bagi terkabulkannya doa, ia harus memberikan dalil syariatnya. Jika tidak, maka dia telah mengatakan atas nama Allah sesuatu yang tidak diketahuinya. Sementara wasilah semacam itu tidak ada dalil syariat yang menjelaskannya.26

Selanjutnya, menanggapi riwayat tentang tawassul yang dilakukan Umar sebagaimana disebut di atas, dia menjelaskan bahwa riwayat itu tidak menunjukkan adanya tawassul dengan keagungan dan hak Nabi Muhammad saw. Akan tetapi yang dimaksud adalah bertawassul dengan doa Nabi. Yakni para shahabat meminta kepada Nabi agar beliau berdoa untuk mereka. Nah, setelah Nabi meninggal dunia, mereka bertawassul, meminta didoakan oleh Abbas agar diturunkan hujan. Kalau toh dimaknai sebagai tawassul dengan kebesaran dan hak Nabi Muhammad, sudah barang tentu Umar dan shahabat tidak bertawassul dengan Abbas, paman Nabi karena Nabi lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dibanding pamannya.27

Syaikh Bin Baz ulama Kerajaan Arab Saudi lainnya, juga memiliki pendapat yang tidak berbeda dengan yang telah disebut sebelumnya. Dia menjelaskan bahwa berdoa dengan wasilah para nabi atau orang-orang suci, yakni meminta bantuan mereka untuk melepaskan kesulitan yang tengah dihadapi, tidak lain adalah perbuatan syirik. Sedangkan tawasul dengan kebesaran dan hak para nabi, wali atau orang-orang shalih merupakan bid'ah dan jalan menuju syirik. Yang termasuk tawassul sebagaimana disebut terakhir ini, seperti ketika orang berdoa dengan kata-kata sebagai berikut; "Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan kebesaran Nabi-Mu" atau "…dengan hak Nabi-Mu" atau "…dengan kebesaran para wali-Mu" atau "…dengan kebesaran orang-orang shalih"

Sebagaimana telah diuraiakan sebelumnya, bahwa salah satu ayat yang dijadikan dasar tawassul/wasilah adalah surat al-Baqarah ayat 35. Di dalam ayat itu terdapat kata wasilah. Kata itu dipahami oleh yang mengabsahkan tawassul, sebagai tawassul dengan para nabi, wali dan orang-orang shalih.

Sementara itu, para mufassir (ahli tafsir) ketika mengartikan wasilah pada ayat di atas, tampaknya tidak menyinggung adanya wasilah dengan para nabi, wali atau para orang shalih. Berbagai kitab tafsir menjelaskan bahwa wasilah dalam ayat tersebut dimaksudkan sebagai taat kepada Allah dengan memperbanyak amalan ibadah dan menjauhi larangan-larangannya. Menurut Ibnu Katsir (w. 774 H.) pemaknaan wasilah sebagai menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya itu telah disepakati oleh ulama ahli tafsir.28 Ulama tafsir tidak memaknai wasilah pada ayat di atas sebagai bertawassul dengan para nabi dan wali atau orang shalih.

Penjelasan yang menyatakan bahwa yang dimaksud wasilah untuk menuju Allah adalah dengan memperbanyak amalan ibadah dan menjauhkan diri dari larangan-larangannya itu, dapat ditemukan dalam berbagai kitab tafsir dan mu'jam, yang antara lain sebagai berikut;

  1. Tafsir al-Kasysyaf, karya Imam Zamakhsariy29

  2. Tafsir al-Thabariy al-Musamma Jami' al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, karya Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabariy30

  3. Al-Wasith fiy Tafsir al-Qur`an, karya Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidy al-Naisabury31

  4. Tafsir Jalalain, karya Imam al-Mahalliy dan al-Suyuthi32

  5. Tafsir Khazin, karya Imam al-Khazin33

  6. Mu'jam Mufradat al-Fadz al-Qur'an, al-Raghib al-Ashfahanniy34

  7. Fathu al-Qadir al-Jami' baina Fanniy al-Riwayat wa al-Dirayat min Ilm al-Tafsir, karya Muhammad bin ali bin Muhammad al-Syaukaniy35

  8. Fiy Dzilal al-Qur`an, karya Sayyid Quthb36

  9. Tafsir al-Qur`an al-Hakim, karya al-Sayyid Rasyid Ridha37

  10. Tafsir al-Mizan, karya Imam Thabathabai38

  11. Tafsir al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Hijaziy39

Di antara kitab tafsir yang telah disebut di atas juga menjelaskna bahwa yang dimaksud wasilah adalah kedudukan yang tinggi lagi mulia yang adanya di surga. Yakni suatu tempat/maqam yang hanya akan ditempati oleh Rasulullah semata. Hal itu sebagaimana tertera dalam doa sehabis adzan sebagaimana berikut ini;

اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة أت سيدنا محمدا الوسيلة والفضيلة وبعثه مقاما محمودا الذي وعدته

Sementara itu M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbahnya menjelaskan bahwa para ulama ada yang sangat ketat melarang tawassul/wasilah dalam berdoa, karena mereka khawatir hal tersebut tidak dipahami oleh masyarakat awam yang bisa saja menduga para nabi dan wali itulah yang mengabulkan permohonan mereka. Atau mereka memiliki peranan yang mengurangi peranan Allah dalam mengabulkan permohonan. Atau bahkan dengan tawassul itu dapat memperoleh sesuatu yang tidak sewajarnya untuk mereka peroleh. Yang demikian itulah memang yang membahayakan dan terlarang karena merupakan bentuk mempersekutukan Allah swt.40

Kemudian berkaitan dengan keyakinan tentang hidupnya orang-orang yang gugur di jalan Allah (Surat al-Baqarah ayat 154) dan kemudian diyakini oleh yang pro kepada praktek tawassul dapat dimintai pertolongan, Ibnu Masud menjelaskan tidak sebagaimana yang diyakini oleh umat Islam yang pro dengan praktek tawassul.

Ibnu Mas'ud pernah menjelaskan bahwa arwah mereka itu berada di dalam rongga bintang yang berwarna hijau yang di dalamnya ada lampu-lampu yang bergantung pada 'Arsy. Arwah itu juga keluar dari dalam surga kapan saja mereka kehendaki. Kemudian mereka berkerumun di seputar lampu-lampu itu. Maka kemudian Tuhan mereka menampakkan diri kepada mereka, seraya berkata: "Apakah kalian senang (menginginkan) sesuatu?". Mereka berkata: "Segala sesuatu kita senang, dan kami keluar masuk surga sesuka kami". Tuhan mengulangi hal itu (pertanyaan) hingga tiga kali. Mereka tidak pernah berhenti meminta seraya berkata kepada Tuhan mereka: "Wahi Rabb, kami ingin Engaku mengembalikan arwah kami kepada jasad kami, sehingga kami bisa berperang di jalan-Mu untuk kali lainnya. Kemudian setelah Allah melihat bahwa mereka tidak ada hajat lagi, mereka ditinggalkan oleh Allah. Demikian kondisi arwah para syuhada di surga, berdasar penjelasan Rasulullah sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Mas'ud.41

Dalam penejelasan itu Rasulullah tidak menyinggung sama sekali tentang kaitan mereka dengan kebutuhan orang-orang yang masih di bumi. Apalagi menolong dan memenuhi kepentingan dan maksud-maksud mereka. Demikian kurang lebih penjelasan orang-orang syahid yang hidup di surga, berdasar penjelasan Rasulullah yang disampaikan oleh Ibnu Mas'ud.

1 Khalid al-Juraisy, Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Alih Bahasa: Muhammad Thalib, Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci (Jogjakarta: Media Hidayah, 2003), h. 58. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, …), h. 938. Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu'jam Mufradat al-Fadz al-Qur'an (Beirut: Dar al-fikr, tth.), h. 561.

2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Vol. 3 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 82.

3 Muhammd Luthfi Ghozali, Mengintip Alam Barzakh Tawassul Mencari Allah dan Rasul Lewat Jalan Guru (Semarang: Abshor, 2006), h. 6.

4 Muhammad bin Abdul Wahab, Kitab al-Tauhid al-Ladzi Huwa Haqq Allah 'ala al-'Abid (Beirut: Dar al-Arabiyah, 1969), h. 100.

5Khalid al-Juraisy, Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Alih Bahasa: Muhammad Thalib, Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci (Jogjakarta: Media Hidayah, 2003), h. 53-55.

6 Syaikh Ahmad Jauhariy Umar, Jawahir al-Ma'aniy (Pasuruhan: Pesantren Dar al-Salam, tth.), h. 33.

7 Ensiklopedi Islam Indonesia, op. cit., h. 561.

8 M. Quraish Shihab, op. cit. 82

9 Ensiklopedi Islam Indonesia, loc. cit. M. Quraish Shihab, op. cit., h. 83.

10 Imam Bukhariy, Shahih Bukhariy (Semarang: Nur Asia, tth), h.

11 Keyakinan semacam itu dapat dijumpai pada masyarakat yang akrab dengan pengamalan tarekat tertentu. Masyarakat yang mengamalkan Tarekat Qadiriyah yakin bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailaniy dalam hal memberi berkah dan syafaat tidak berbeda antara masa hidup dan setelah meninggalnya. Al-Syaikh Abdu al-Latif bin Abdu al-Salam al-Jawiy, 'Uqud al-La`aliy fi Manaqib al-Quthb al-Rabbaniy al-Syaikh Abd al-Qadir al-Jailaniy (Semarang: Maktabah al-Munawir, tth.), h. 2.

12 M. Quraish Shihab, op. cit., h 83.

13 Said bin Musfir al-Qahthaniy, Al-Syaikh Abdul Qadir al-Jailaniy wa Arauhu al-I'tiqdiyah wa al-Shufiyah, alih bahasa: Munirul Abidin, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Jailani (Jakarta: CV. Darul Falah, 2004), h. 363-364.

14 Said bin Musfir al-Qahthaniy, ibid., h. 33-34. Syaikh Ahmad Jauhariy Umar, op. cit. h. 43-48. Al-Syaikh Abdu al-Latif bin Abdu al-Salam al-Jawiy, op. cit., h. 62. Pada bagian akhir kitab-kitab manaqib, biasanya dicantumkan fadhilah atau keutamaan dan faedah membacanya.

15 Syaikh Ahmad Jauhariy Umar, op, cit. 39.

16 Ibid., h. 37.

17 Imam Nawawiy, Al-Adzkar (Semarang: Maktabah Alawiyah, tth.), h. 201

18 Muhammad bin Abdul Wahab, loc. cit.

19 Ibid. h. 100.

20 Ibid., h. 33.

21 Ibid. 33.

22 Ibid., h. 34.

23 Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, Juz 6, h. 373.

24 Muhammad bin Abd al-Rahman al-Khumais, I'tiqad al-Aimmah al-Arba'ah, penterjemah Ali Mustafa Yaqub, MA. Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I, Ahmad), (Riyad: Kementerian Agama Islam Wakaf & Dakwah dan Bimbingan Islam, 1427), h. 16.

25 Ibid. h. 57.

26 Ibid. h. 52.

27 Khalid al-Juraisy, op. cit. h. 58-59

28 Imam Abu Fada` al-Hafidz ibnu Katsir al-Dimasyqiy, Tafsir al-Qur`an al-'Adzim, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 67.

29 Imam Abu Qasim Jar Allah Muhammad bin Umar al-Zamakhsyariy, al-Kasysyaf, juz. 1 (Tkp. Dar al-Fikr, 1977), h. 610.

30 Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy al-Musamma Jami' al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyat, 1992), h. 566-567

31 Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidy al-Naisabury, Al-Wasith fiy Tafsir al-Qur`an al-Majid, jilid (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyat, 1994), h. 183

32 Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tafsir Jalalain (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 149.

33 Al-Imam 'Ala al-Din Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadiy al-Syahir bi al-Khazin, Tafsir al-Kazin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyat, 1995), h. 263.

34 Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu'jam Mufradat al-Fadz al-Qur'an (Beirut: Dar al-fikr, tth.), h. 561.

35 Muhammad bin ali bin Muhammad al-Syaukaniy, Fathu al-Qadir al-Jami' baina Fanniy al-Riwayat wa al-Dirayat min Ilm al-Tafsir, Juz 2 (Tkp. Dar al-Fikr, 1981), h. 38.

36 Sayyid Quthb, Fiy Dzilal al-Qur`an, jilid 2, juz 4, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-'Arabiy, 1967), h. 146.

37 Al-Sayyid Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, h. 371-378.

38 Al-Sayyid Muhammad Husein al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, juz 5 (Beirut: Muassasah al-a'lamiy li al-Mathbuat, 1991), h. 335. Dalam menjelaskan kta wasilah Imam thabathabai mengutip pendapat al-Raghib al-Ashfahanniy dalam kitab Mufradat al-Fadz al-Quran.

39 Muhammad Mahmud Hijaziy, Al-Tafsir al-Wadhih, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Jail, 1993), h. 510.

40 M. Quraih Shihab, op. cit. h. 83.

41 Mahna bin Raja' Allah bin Raja' al-Lihyaniy, Qadhaya fi al-Jihad wa Bayan Fadhlihi, (Arab Saudi: Muthabi' Sahr, 1411H.), h. 23.

Tidak ada komentar: